Tiga Kewajiban Orang Tua Kepada Anaknya

keluarga sakinah


Dalam Islam, terdapat tiga kewajiban bagi orang tua terhadap anak. Tiga kewajiban orang tua untuk anaknya tersebut ialah, pertama, memberikan nama yang baik dan bagus, kedua, memberikan pendidikan yang baik, dan ketiga ialah menikahkannya.

1. Pertama, kewajiban orang tua kepada anaknya ialah memberikan nama anaknya dengan nama sebaik mungkin. Nama menjadi panggilan untuk anak tersebut sehingga jia nama anaknya kurang baik maka akan berdampak kepada orang tuanya juga, karena tidak sedikit orang tuanya kemudian dipanggil dengan nama anak pertamanya dan nama untuk anaknya tidak harus berbahasa arab. 

Pemberian nama kepada anak bukan sekedar untuk nama saja, namun sebisa mungki memperhatikan maknanya dan juga diniatkan untuk tabarrukan kepada arti dari nama tersebut. Seperti contoh nama anak dengan nama Zakiya Fikrotus Su'ada, maka dengan nama itupula diharapkan anak tersebut bisa merepresentasikan dari makna namanya sendiri. yakni, orang yang suci fikirannya dan bahagia. Jadi, hendaknya orang tua jangan asal memberikan nama kepada anaknya tanpa memperhatikan makna dan kebaikan seterusnya untuk anak tersebut. Karena dengan nama itulah anak itu akan dipanggil dan dinisbatkan kepada keluarganya.

Anjuran kepada orang tua agar memberikan nama yang baik tersebut bisa di cek di kitab Al-Adzkarun Nawawi hadits riwayat Abi Darda’. Bunyi haditsnya ialah sebagai berikut:

عن أبي الدرداء رضي الله عنه قال : قال رسول الله (صلى الله عليه وسلم) : " إنكم تدعون يوم القيامة بأسمائكم وأسماء آبائكم فأحسنوا أسماءكم ".

Artinya, “Dari Abu Darda Ra berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Sungguh kalian semua akan dipanggil pada hari Kiamat dengan nama-nama kalian dan nama-nama ayah kalian. Maka dari itu, perbaguslah nama-nama kalian,’ (Lihat Muhyiddin Abu Zakariya An-Nawawi, Al-Adzkarun Nawawi". Beirut: Dar Kutub: 2004, halaman 411).

Di antara maksud dan tujuan kenapa orang tua dianjurkan agar memberikan nama yang baik kepada anaknya, ialah karena ada beberpa nama yang makruh jika dibuat nama, dan nama ini tidak disukai oleh Nabi Muhammad SAW. Seperti contoh nama Untung (Rabaḥ), Sukses (Najah), menang (Aflaḥ), Kaya (Yasar), dan raja diraja (Malikul Amlak). 

Berikut hadits yang menerangkan hal di atas:

عن سمرة بن جندب رضي الله عنه قال : قال رسول الله (صلى الله عليه وسلم) : " لا تسمين غلامك يسارا ، ولا رباحا ، ولا نجاحا ، ولا أفلح 

Artinya, “Dari Samurah bin Jundab RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Jangan kalian memberi nama anak kalian dengan nama Yasar, Rabah, Najah, dan Aflah,’” (Lihat Muhyiddin Abu Zakariya An-Nawawi, Al-Adzkarun Nawawi, Beirut, Dar Kutub: 2004, halaman 412). 

Namun demikian, bukan berarti nama-nama tersebut tidak boleh digunakan. hanya saja nama di atas tidak dianjurkan oleh Rasulullah SAW untuk digunakan sebagai nama dan jika digunakan juga tidak berdosa. Karena itulah, orang tua memberikan nama anaknya dengan bahasa apa saja diperbolehkan dengan ketentuan nama yang digunakan bermakna baik dan diusahakan tidak dengan nama-nama yang ada pada hadits di atas. 

Dalam keterangan yang lain Nabi Muhammad SAW justru menganjurkan agar orang tua dalam memberikan nama kepada anaknya ialah menggunakan nama yang disukai oleh Allah SWT, yaitu seperti nama Abdullah, Abdurrahman, nama-nama para nabi. Keterangan ini terdapat dalam sebuah hadis riwayat Abu Dawud dari sahabat Abu Wahb Al-Jusyami sebagai berikut:

 عن أبي وهب الجشمي الصحابي رضي الله عنه قال : قال رسول الله (صلى الله عليه وسلم) : " تسموا بأسماء الأنبياء ، وأحب الأسماء إلى الله تعالى : عبد الله وعبد الرحمن ، وأصدقها : حارث وهمام ، وأقبحها : حرب ومرة 

Artinya, “Dari Abi Wahb Al-Jusyami RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Berilah nama (kepada anak-anakmu) dengan nama-nama para nabi, dan nama-nama yang paling disukai oleh Allah SWT adalah Abdullah dan Abdurrahman. Sedangkan yang pertengahannya adalah Haris dan Hammam. Adapun nama yang paling jelek adalah Harb dan Murrah,” (Lihat Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz IV, halaman 474). 

Kemudian, dalam tradisi yang berlaku di khalayak masyarakat, ketika terdapat bayi yang baru lahir maka biasanya bayi tersebut akan diberi nama pada hari ke tujuh ada juga pada hari ke empat puluh dari kelahirannya, hal semacam ini biasa disebut dengan istilah tradisi molang are. 

Pada hari ke empat puluh dari kelahiran bayi tersebut biasanya sekaligus dengan dilakukan penyembelihan dua ekor kambing bagi anak laki-laki dan satu kambing bagi anak perempuan. Acara yang sudah mendarah daging di masyarakat ini biasanya tidak hanya diisi dengan makan-makan saja, namun diisi dengan pembacaan khatmil qur’an, kadang hanya baca Yasin saja dan biasanya akan ditutup dengan pembacaan shalawatan bersama, seperti maulid diba'. 

Berikut haditsyang menerangkan tentang perintah untuk memberikan nama kepada anaknya yang baru lahir

أن النبي صل الله عليه و سلم أمر بتسمية المولود يوم سابعه، و وضع الاذى عنه، و العقّ. 

Artinya: "Bahwa sesungguhnya Nabi memerintahkan untuk memberikan nama pada hari ketujuh, menghilangkan kesengsaraan dari padanya dan aqiqah". (Muhyiddin Dhib, Lawami’ al-Anwar; Syarh Kitab al-Adzkar, Bairut, Dar Ibn Kathir, 2014, juz 2, halaman: 143)

Namun demikian, hadits di atas tidak memutlakkan harus memberi nama anak pada hari ke tujuh pada hari kelahiran. Sehingga andai saja ada orang tua yang memberikan nama pada hari pertama kelahiran, maka tidak apa-apa

2. Kedua, memberikan pendidikan yang baik. Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang baik, hal ini untuk kebaikan masa depannya, kebaikan dalam melaksanakan eksistensi sebagai umat beragama Islam dan sebagai makhluk sosial yang membutuhkan banyak ilmu untuk menjalani kehidupannya dengan baik.

Dalam Islam setiap manusia muslim laki-laki dan perempuan diwajibkan untuk belajar, bahkan sejk dari buaian hingga ke liang lahat. Hal ini mempertegas betapa pentingnya sebuah pengetahuan dan pendidikan. Dengan pendidikan yang baik tentu akan membuat hidup manusia itu berjalan dengan baik, mengerti cara bersosial dengan baik, dan mengerti cara melaksanakan kewajiban sebagai orang islam dengan benar. 

Nabi Muhammad SAW bersabda sebagai berikut:

اطلبوا العلم ولو بالصين

Artinya, “Tuntutlah ilmu, walau ke negeri Cina” (Diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman, No. 1612)

Dalam keterangan yang lain disebutkan sebagai berikut:

اطلب العلم من  المهد إلى اللحد

Artinya : “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat” 

Ilmu adalah perhiasan bagi pemiliknya, dalam syair disebutkan sebagai berikut:

  وفضل وعنوان لكلّ المحامد v تعلّم فانّ العلم زين لأهله

من العلم واسبح في بحور الفواءد v وكن مستفيدان كل يوم زيادة

Artinya, “Belajarlah, karena ilmu adalah perhiasan bagi pemiliknya, dan keutamaan baginya serta tanda setiap hal yang terpuji. Jadilah kamu orang yang mencari faedah, setiap harinya bertambah ilmu dan berenang di atas lautan faedah.”

Dari keterangan di atas dapat difahami bahwa betapa pentingnya ilmu atau pengetahuan untuk keberlangsungan menjalani hidup di muka bumi, selain banyak yang harus diketahui oleh setiap muslim yang berhubungan dengan kewajibannya sebagai orang Islam, juga pengetahuan dibutuhkan untuk dapat melangsungkan eksistensi hidupnya dengan baik dan mengantarkannya kepada kebahagiaan. 

Imam syafii berkata bahwa orang yang tidak betah dengan pahitnya menuntut ilmu, maka dia akan menanggung pahitnya kebodohannya kelak.

Tatkala orang tua memberikan pendidikan yang baik, maka orang tua tersebut akan mendapatkan aliran pahala. Sebagaimana keterangan hadits dibawah ini:

 عن جابر بن سمرة رضي الله عنه قال قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم  لأنْ يُؤَدِّبَ الرجلُ وَلَدَه خيرٌ من أن يتصدق بصاع أخرجه الترمذي

Artinya, “Dari sahabat Jabir bin Samurah ra, Rasulullah saw bersabda, ‘Pengajaran seseorang pada anaknya lebih baik dari (ibadah/pahala) sedekah satu sha,” (HR At-Tirmidzi).

Pendidikan yang diajarkan sejak kecil hendaknya pada hal-hal yang berkaitan dengan akhlak atau adab, sebagaimana sabda Nabi Muhammad berikut:

عن أَيُّوبَ بْنِ مُوسَى عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا نَحَلَ وَالِدٌ وَلَدًا خَيْرًا لَهُ مِنْ أَدَبٍ حَسَنٍ   

Artinya, “Dari Ayyub bin Musa, dari bapaknya, dari kakeknya, Rasulullah saw bersabda, ‘Tiada pemberian orang tua terhadap anaknya yang lebih baik dari adab yang baik," (HR At-Tirmidzi). 

Dalam riwayat lain Rasulullah juga menyampaikan agar para orang tua menanamkan etika dan norma-norma moral kepada anak-anaknya. Sebagaimana penjelasan hadits di bawah ini:

 عن ابن عباس عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أَكْرِمُوْا أَوْلَادَكُمْ وَأَحْسِنُوْا آدَابَهُمْ رواه ابن ماجه 

Artinya, “Dari sahabat Abdullah bin Abbas ra, dari Rasulullah saw bersabda, ‘Muliakanlah anak-anakmu, perbaikilah adab mereka," (HR Ibnu Majah)

Madrasah pertama bagi anak-anak adalah keluarga, khususnya ibu yang mengandungnya. Sehingga dengan demikian hendaknya ibu mempunyai pengetahuan yang cukup untuk diajarkan kepada anaknya sejak dini. Seperti ilmu tentang cara makan yang benar, cara membaca yang baik, cara berbicara yang santun dan seterusnya. Lebih-lebih jia orang tua mencontohkannya terlebih dahulu sehingga anak bisa mencontoh secara langsung perbuatan yang baik itu bagaimana. Sebagaimana yang ada dalam pepatah berikut:

 لِسَانُ الْحَالِ أَفْصَحُ مِنْ لِسَانِ الْمَقَالِ 

Artinya: “Contoh perbuatan lebih efektif (lebih berpengaruh) daripada perkataan”

Mengajarkan suatu hal memang akan lebih mudah difahami dan dicontoh langsung tatkala anak itu diberikan contoh oleh orang tuanya, sehingga anak bisa denga mudah mengerti apa maksud dari apa yang di ajarkan oleh orang tua. Terlebih orang tua mendidik anaknya dengan menggunakan metode pembiasaan. 

Kenapa demikian? karena lebih tepatnya, untuk anak-anak hanya butuh pada pembiasaan saja, misalnya jika anak tersebut sejak kecil biasa dibawa kemusholla atau biasa diajak sholat ketika waktunya sholat. Maka kemudian hari pasti anak itu tanpa diminta sudah sadar dengan sendirinya bahwa pada waktu yang sama ia harus mengerjakan sholat, begitu juga dengan hallainnya. karena anak kecil hanya butuh contoh bukan materi yang banyak.

Di antara pendidikan yang pertama harus diberikan ialah pendidikan yang berhubungan dengan kewajibannya sebagai umat Islam, yakni pendidikan tentang bersuci, sholat, zakat, puasa dan haji. Pendidikan tentag tauhid dan akhlak. Setelah itu kemudian baru pendidikan yang lainnya

Dalam hal ini sudah dijelaskan dalam surat Luqman ayat 17 berikut:

 يٰبُنَيَّ اَقِمِ الصَّلٰوةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلٰى مَآ اَصَابَكَۗ اِنَّ ذٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ 

Artinya, "Wahai anakku, dirikanlah shalat dan ajaklah manusia berbuat baik dan cegahlah mereka dari perbuatan mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara penting".

Kemudian dalam hadits juga disampaikan sebagai berikut:

 عن عمرو بن شعيب، عن أبيه، عن جده -رضي الله عنه- قال: قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: مُرُوا أولادَكم بالصلاةِ وهم أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، واضْرِبُوهُمْ عليها، وهم أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ في المَضَاجِعِ

 Artinya, "Dari Amr Bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah bersabda: “Perintahkan anak-anakmu melaksanakan sholat saat mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka sebab meninggalkan sholat saat mereka berusia 10 tahun dan pisahkan tempat tidur mereka". (H.R Abu Daud)

3. Ketiga, Hal anak pada orang tua yang ketiga ialah dinikahkan. Orang tua punya tanggung jawab untuk menikahkan anaknya tatkala anak tersebut sudah siap, siap secara materi, siap secara pengetahuan dan mental. Karena memang pernikahan bukanlah suatu hal yang biasa saja. Pernikahan ialah suatu perjanjian sakral, perjanjian yang disaksikan banyak malaikan dan manusia. Sehinga tatkala sudah melangsungkan akad nikah jauh-jauhkan fikiran tentang keinginan talak dan semacamnya. 

Dalam Al-Qur'an disebutkan sebagai berikut

وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

Artinya, "Dan mereka (istri-istrimu) telah megambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu." (QS. An-Nisa’: 20-21)

Pernikahan menjadi sarana untuk menjadikan setengah ibadahnya sempurna, dalam sebagian pendapat disampaikan bahwa dengan menikah setegah dari imannya telah sempurna. Yang jelas, sebagai orang tua yang baik, setelah memberikan nama yang baik untuk anaknya, kemudian memberikan pendidikan sebaik mungkin, dan yang terakhir punya tanggung jawab untuk menikahkan anaknya. 

 

REFERENSI/RUJUKAN

Muhyiddin Abu Zakariya An-Nawawi, Al-Adzkarun Nawawi". Beirut: Dar Kutub: 2004, halaman 411 dan 412

Muhyiddin Dhib, Lawami’ al-Anwar; Syarh Kitab al-Adzkar, Bairut, Dar Ibn Kathir, 2014, juz 2, halaman: 143

Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun, juz IV, halaman 474


 

0 Komentar