Relasi Cinta dan Rindu Perspektif Positivisme, Interpretivisme dan Agama Islam

 


Cinta merupakan susunan dari lima huruf yang disitu menghadirkan dua huruf vokal (hidup) dan tiga huruf konsonan (mati). Pengertian cinta terlampau banyak dan bervariasi, tentunya tergantung siapa yang berkata dan merasakan hadirnya cinta itu sendiri. Cinta sendiri melampaui ruang dan waktu, artinya kalaupun yang mencintai itu sudah tiada, benih-benih cinta itu tetap akan eksis dan bahkan menjadi pedoman bagi kalangan setelahnya untuk mengikuti cara dan ekspresi dalam memandu jalannya cinta.

Sejalan dengan uraian di atas, cinta itu tidak bisa kita cari, dan tidak bisa kita tolak. Karena memang cinta tidak pernah bisa disensor secara spesifik sejak kapan cinta itu bermuara dan kemudian mengalir dalam eksistensi kehidupan masing-masing individu yang terdiagnosa. Cinta merupakan anugerah dari Tuhan semesta alam, sehingga tatkala cinta itu hadir, maka yang perlu diperhatikan adalah kepada siapa cinta itu terpaut dan apa saja kemungkinan-kemungkinan yang terjadi setelah cinta itu hadir dan terus bermuara. 

المحبة هي العطاء، لا نستطيع أن نطلب وندفع

Cinta adalah pemberian (anugerah), kita tidak bisa mencarinya dan juga menolaknya.

Banyak macam ciri-ciri orang yang terdiagnosa gejala cinta, tergantung masing-masing individunya. Dari cinta inilah kemudian rasa rindu itu menggejolak, rasa ingin temu terus memuncak, dan keinginan untuk selalu bersama dalam bingkai bahasa yang indah ingin selalu terjadwalkan.

Memahami definisi cinta yang bervarian, tentu tidak mudah. Dikatakan bahwa tatkala orang yang jatuh cinta itu bisa dilihat ketika Sayyidina Abu bakar terkena gigitan ular, sedikitpun ia tidak bergerak karena dalam pangkuannya ada Rasulullah yang sedang tidur pulas. Dikatakan pula cinta ketika sudah mendarah daging akan mampu menghilangkan rasa sakit yang sangat amat sebagaimana rasa sakitnya anak panah ketika dicabut dari badan kita. Hal ini terjadi pada salah satu sahabat Rasulullah SAW.

Cinta menjadi variabel utama yang mempengaruhi dalam hadirnya rasa rindu, orang yang jatuh cinta atau sedang mencintai kepada siapapun itu sudah tentu akan merasakan rindu, rindu dan rindu. Bahkan ia akan berusaha dengan sebisanya atau semaksimal mungkin untuk bisa bertemu dengan yang dirindukan. Entah rindu pada sesama manusia ataupun rindu kepada yang maha segalanya. Hal ini menjadi perhatian ulamak terkemuka, yakni Syaikh Dr, Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi. Beliau berkata dalam kitabnya, fiqhus shiroh sebagai berikut:

قال الدكتور محمد سعيد رمضان البوطي: المحب يعمل ببذل المجهود شوقا إلى المحبوب

Orang yang mencintai, tatkala ia rindu maka akan berusaha keras (melakukan yang terbaik) untuk orang yang dicintai. 

Dikatakan juga bahwa cinta adalah ikatan yang sempurna, karena itulah kemudian akdun nikah menjadi awal mula untuk mengikat cinta menuju kesempurnaan cinta itu sendiri, Tidak ada masalah kalaupun sebelumnya belum pernah kenal kemudian menikah karena sama-sama tau kepribadiannya, meskipun sebelumnya belum kenal jauh dan menjadalam, hal ini menjadi pembantah bagi orang yang mengharuskan pacaran dulu untuk menikah dst. Pacaran diluar pernikahan tidak menentukan lama dan harmonisnya suatu hubungan pernikahan, karena itulah perlu dihindari hubungan ini diluar nikah.

المحبة هي رباط الكمال

Cinta itu ikatan yang sempurna

Dalam redaksi lainnya disebutkan bahwa cinta itu kumpulan yang bermacam-macam dari perasaan yang diterimanya. Artinya cinta itu tidak lapuk hanya karena kondisi-kondisi yang varian yang merongrong kekuatan cinta, semakin banyak problematika yang diterima dalam perjalanan hidup seharusnya semakin kuat rasa cintanya. Bukan justru menyerah dan minta usai, hehehe. Ada yang mengatakan bahwa pertengkaran menjadi bumbu penikmat dan penguat cinta dari dua orang yang berpasangan. Tentunya tergantung siapa yang terlibat langsung dan seperti apa kepribadiannya dalam menghadapi problematika yang ada.

الحب هو مجموعة متنوعة من المشاعر الإيجابيَّة

Cinta itu kumpulan yang bermacam-macam dari perasaan yang diterimanya.

Uniknya lagi menurut teman penulis, cinta itu sebagaimana orang yang dilarikan ke RSUD, kondisi yang mencintai sedang sakit. Ada kemungkinan cepat sembuh atau justru lama sembuhnya, ada juga kemungkinan ia tetap bertahan hidup atau justru menjadi akhir dari kehidupannya. Yang jelas ujian dalam membangun cinta yang baik itu selalu ada, peran kita bukan menyelesaikan cinta itu sendiri, tapi menyelesaikan problem yang ada untuk tetap mempertahankan eksistensi cinta yang tumbuh dan menjadi anugerah baginya. Ingat cinta itu anugerah, tidak bisa dicari dan ditolak. Tatkala kita menerimanya, jagalah dan rawatlah hingga ia benar-benar nyaman dan merasa aman dalam tatakelola dalam hidup kita dalam memperlakukannya.

Dalam lanjutan dawuhnya Syaikh Dr, Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, selain disebutkan bahwa dengan kehadiran cinta tersebut orang yang mencintai akan berusaha semaksimal mungkin untuk orang yang dicintai, dengan kehadiran rindu tersebut dapat membuat mudah perkara yang sulit dan membuat dekat orang-orang yang jauh. Sepenggal kata tersebut benar-benar mewakili ekspresi eksistensi orang yang merasakan kehadiran cinta yang kemudian menerbitkan rindu-rindu yang indah. Berikut narasi lanjutan redaksi dari dawuhnya Syaikh Dr, Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi

فيسهل عليه الصعب ويقرب عليه الأبعد

Perkara yang sulit menjadi mudah dan yang jauh menjadi dekat, ta’lilnya (alasannya) karena kehadiran rindu yang bermuara dari kehadiran cinta yang mulia tanpa unsur-unsur lain dan sikap yang nista.

Jadi usaha secara maksimal disini bukan dengan cara-cara yang keji dan hanya berporos pada hawa nafsu belaka, namun tetap dirawat dan dijaga serta diekspresikan dengan sikap dan akhlak yang santun dan mulia, bukan dengan cara yang nista. Hadirnya cinta tidak pernah meminta orang terlibat untuk bermaksiat dengan varina sikap nista dan keji ataupun tidak santun, itu justru nafsu yang berkedok cinta. Justru hadirnya cinta itu akan menghaluskan cinta, membaguskan bahasa, memperindah sikap dan tingkah dalam berinteraksi pada sesama.

Dikatakan bahwa “Rindu tidak bisa diciptakan oleh jarak, melainkan oleh perasaan, sebab orang yang rindu itu bukan karena yang dirindukan orangnya dalam posisi jauh, tetap karena dia selalu hadir dalam harimu”. Dalam hal ini penulis ingin menggaris bawahi bahwa merindukan memang tidak ada relasinya dengan jarak jika memang yang dirindukan selalu hadir dalam hatinya. Namun demikian jarak menjadi variabel pengaruh terhadap rasa rindu itu, terlebih ketika senggang waktu lama tidak ada temu dari keduanya. Jarak disini tidak diharuskan jauh, selagi ada sekat disitulah posisi jarak dan celah rindu untuk menyelinap dan tumbuh.

Jadi, yang benar itu cinta melahirkan rindu atau rindu melahirkan cinta? atau rindu muaranya dari cinta, atau bahkan cintabermuara dari adanya rasa rindu? Yang jelas cinta dan rindu selalu menjadi warna-warni indah dalam kehidupan yang singkat ini. Ini bukan pertanyaan yang sulit, masing-masing dari kita punya versi jawaban yang berbeda.

Dalam narasi lainnya disebutkan bahwa cinta itu merupakan keutamaan yang membuat hidup tenang, tentram dan rukun. Artinya kehadiran cinta benar-benar dapat melunakkan hati manusia dan membuat prilaku manusia itu lebih mudah untuk diarahkan. Sebagaimana ulamak-umalak tatkala berdakwah lebih mendahulukan sentuhan hati dari pada dengan cara yang membuat hati enggan menerima ajakannya. Karena itulah kemudian cara dakwah yang baik ialah dengan menggunakan sentuhan hati, tentu disertai dengan sikap yang santun dan mulia. Berdakwah yang baik ialah ketika pendak-i nya mempunyai kecerdasan sosial. Karena kecerdasan spiritual saja tidak cukup.

Masih dalam pembahasan sentuhan hati, penulis mau menawarkan satu pertanyaan, adakah ta’arruf ataupun apapun itu yang melibatkan orang ke dua atau orang lain dalam ranah kebaikan akan berhasil dan dengan mudah diterima jika disitu tidak dihadirkan unsur-unsur sentuhan hati.?

Mencintai tanpa hadirnya hati, tentu itu tidak mungkin. Karena ego menjadi salah satu faktor utama untuk melantakkan kehalusan hati. Berdiskusipun jika tidak disertai dengan nilai-nilai sikap hati, tentu yang bisa kita lihat hanya argumentasinya saja tanpa ada nilai yang hidden (tersembunyi). Terlebih jika dalam menyampaikan pendapatnya dengan sikap dan bahasa yang kurang baik. tentu yang diingat hanyalah sikapnya, bukan esensi dari argumentasinya. Kehalusan bahasa selain dengan intonasi yang baik juga dengan hati yang baik.  Karena bahasa itu merupakan representasi dari nilai, entah itu nilai dari cara dia berbicara ataupun pemberian nilai dari yang mendengarkan kritik dan argumentasinya. Karena itulah kemudian argumentasi atau kritikan yang tidak dengan tatakrama yang baik, maka yang diingat hanyalah sikapnya, bukan esensi argumentasinya dan subtansi kritikannya.

Dalam Ilmu psikologi disebutkan bahwa cara mendekati manusia itu diantaraya berdasarkan kecenderungan-kecenderungan, Dalam ilmu tasawuf pendekatan itu lebih mengena jika menggunakan pendekatan dengan hati, yakni dengan melihat pekerjaan hati yang sifatnya batiniyah, bagaimana cara mentarbiyah hati agar menjadi kolbun salim.

Orang yang mencintai tidak lepas dari dua sikap manusia dalam menafsiri, memaknai, dan menilai sekian hal dan perkara yang ada pada pribadi orang yang dicintai, entah itu berupa sikap, sifat dan kebiasaan serta lainnya yang sifatnya manusiawi. Dalam hal ini dalam ilmu filsafat disebut dengan positivisme dan interpretivisme. Dua aliran filsafat ini mempunyai pandangan yang bersinggungan meski keduanya berasal dari dua aliran filsafat juga, yakni filsafat aliran rasionalisme dan empirisme. Aliran rasionalisme dikembangkan oleh Socrates, plato dan descrates yang mana untuk menilai kebenaran menggunakan akal dan membutkikannnya dengan a-priori dengan standart kaidah koherensi, berbeda dengan aliran empirisme yang dikembangkan oleh Aristoteles yang menggunakan indera untuk menilai, a-posteriori untuk membuktikan kebenaran itu serta standart kaidah korespondensi.

Apriori ialah pengetahuan dianggap benar meskipun belum dibuktikan, aposteriori ialah pengetahuan dianggap benar ketika sudah dibuktikan. Sedangkan koherensi adalah pernyataan harus sesuai dengan fakta atau kenyataan, artinya bisa dianggap benar setelah dibuktikan.

Kedua aliran di atas kemudian oleh Immanuel khan digabungkan dengan sebutan aliran positivisme dan interpretivisme. Aliran positivisme berpendapat bahwa makna dan keindahan hanya ada pada yang tampak saja, beda halnya dengan pandangan aliran Interpretivisme yang berpendapat bahwa selalu ada makna dan keindahan dibalik yang tak tampak.

Menurut positivisme, tawa itu sudah tentu menunjukkan orangnya bahagia, setiap tangis menunjukkan orang itu sedih, setiap luka itu sudah tentu sakit. Positivisme tidak membuka kemungkinan lainnya dan sarat makna dibaliknya. Bedahalnya dengan pandangan Interpretivisme atau fenomenologi.

Interpretivisme atau fenomenologi justru tidak sebagaimana pandangan positivisme, menurut interpretivisme setiap tawa belum tentu menunjukkan orang itu bahagia, bisa jadi haru dan lainnya, pun juga setiap tangis tidak selalu menunjukkan orang itu sedih, bisa jadi karena bahagia, tidak lain dengan luka, bahwa tidak semua luka itu menunjukkan rasa sakit, bisa jadi justru sebaliknya serta tidak semua rindu itu memang benar karena adanya rasa rindu pada orangnya, bisa jadi rindu pada uangnya dst.

Yang jelas menurut fenomenologi, setiap tetesan air mata itu sangat berharga, tidak dengan pandangan positivisme, bahwa menangis ya hanya menangis. Entah hanya sebatas menangis atau lebih menangis lagi. Karena itulah kemudian bagaimanapun tangusannya menurut positivisme hanya menunjukkan satu nilai, yakni sedih.

Dalam hubungan simbiosis mutualisme atau relationship tidak lepas dari dua hal di atas. masing-masing individu bisa saja cara menilai pasangannya sebagaimana pandangan positivism, atau sebaliknya, yakni menganut cara pandang interpretivisme (fenomenologi). Bagi yang mengikuti cara pandang positivisme ia lebih pada yang tertangkap oleh mata dan akal, ia tidak berkenan dengan kemungkinan-kemungkinan lainnya yang ada dibalik apa yang ditangkap oleh akal dan mata. Padahal kebenaran tidak selalu yang tampak, bisa saja ada kebenaran dibalik yang tidak tampak. Misalnya jika ada dua orang bertengkar, anggap saya si cewek melakkan kesalahan tanpa disengaja, laki-laki yang tidak menggunakan interaksi dengan hati, maka ia hanya akan menilai apa yang dilihat saja tanpa melakukan pendekatan yang lebih dalam dengan menanyakan apa sebabnya kenapa bisa begini dan begitu, sehingga dengan pendekatan ini bisa muncul kebenaran yang lainnya yang bahkan bisa jadi lebih benar dari yang sebenarnya (interpretivisme).

Interpretivisme selalu menghundari justifikasi atau pemberian label hanya dengan menilai apa yang dilihat oleh mata saja, ia berupaya melampaui apa yang dilihat sehingga mencari kemungkinan kebenaran lainnya, makna lain dibalik yang tampak, keindahn lain yang dilihat oleh mata. Karena dibalik yang tampak, dibalik yang kasat mata itu ada nilai-nilai dan kebenaran lainnya, kemungkinan kemungkinan lainnya. Disinilah dibutuhkan diskusi mendalam, sapa timbal balik dan pendekatan yang baik lagi, artinya tidak mudah menyalahkan dan menilai hanya dengan sekilas pandang dan penglihatan kita.

Jika cewek-cewek menginginkan calon pasangannya yang penyabar, tidak mudah marah dan selalu membuka lebar diskusi dan masukan dari istrinya, selalu melihat kemungkinan-kemungkinan kebaikan lain selain yang dilihatnya, tentu laki-laki itu ada pada ranah interpretivisme. Kendatipun demikian bukan berarti laki-laki yang positivisme itu pemarah, tidak penyabar, selalu menilai dari apa yang dilihat begitu saja. Intinya untuk mencari dan menentukan kriteria pasangan, lebih aman jika menggunakan indikator-indikator yang sudah disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, yakni wanita dinikahi dikarenakan 4 perkara, karena hartanya, nasabnya, kecantikan dan agamanya. Dalam hal ini justru Rasulullah merekomendasikan indicator yang utama dan pertama dalam mencari padangannya hendaknya karena baik agamanya. Ini berlaku untuk kaum wanita tatkala mencari calon pasangan halal. Meskipun pada akhirnya nanti ada indicator lainnya yang diinginkan, misal akhlaknya baik, tanggung jawab, tampan dll. Sebenarnya baik, sabar, tanggung jawab dan seterusnya itu menjadi sub indikator dari baiknya agama seseorang.

Pada dasarnya dikatakan baik agamanya jika orangnya menar-benar merepresentasikan ajaran dalam agama Islam, meskipun tidak secara komprehensif. Karena memang untuk menjadi manusia yang sempurna itu rasanya amat sulit. Namun demikian setidaknya untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dalam membangun mahligai rumah tangga yang harmonis sudah mencukupi. Tentunya para pembaca lebih tau apa yang diinginkan dari pasangannya sehinggi setiap individu punya indikator masing-masing.

Dari premis-premis di atas, penulis mempunyai tesis dan argumentasi sebagai kesimpulan bahwa antara cinta dan rindu relasinya (kaitannya) amat sangat erat dan saling terikat. Tanpa cinta sangat sulit melahirkan rasa rindu, tanpa rindu juga terasa hambar cinta yang kita Kelola an kita rasa. Perlu diketahui bahwa cinta tidak selalu tentang kaitannya antara dua orang (suami istri), tapi bisa jadi cinta kepada keluarga, saudara, sesama manusia, dan tentu yang amat sangat penting ialah cinta kepada Allah SWT.

Hidup akan lebih terarah ketika masing-masing dari kita punya kecerdasan sosial, kecerdasan spiritual dan kecerdalam dalam membina hubungan. Karena uang bukan indikator utama untuk kehidupan yang bahagia, meskipun untuk mendapatkan segalanya yang ada di dunia ini bisa dilakukan dengan uang.

Sekian tulisan ini penulis susun, jangan lupa menjaga cinta dan rindu kita dari orang-orang yang tidak layak kita cinta dan kita rindu. Tidak ada dikotomi (pemisah) antara cinta dan rindu, keduanya adalah satu kesatuan dan tidak ada sekat untuk menghalangi keduanya, sebagaiman eksistensi cinta yang tidak kenal ruang dan waktu. 

Sekian, Terimakasih...


0 Komentar