Seiring dengan perkembangan zaman, pendidikan terus melakukan ambil sikap. Tidak sedikit jumlah siswa atau pelajar hingga tingkat mahasiswa yang terpanggil untuk terus sekolah dan melanjutkan kuliahnya ke jenjang tertinggi. Terlepas dari apapun tujuan awalnya mereka belajar, untuk apa mereka kuliah dan apa cita-cita mereka. Yang jelas, semuanya adalah sikap yang mulia ketika tetap mau belajar dan terus belajar.
Namun demikian, tetap saja banyak orang yang berfikiran sempit dan menceloteh mereka yang memilih lintas pendidikan dari pada bekerja sejak dini dan enggan belajar. Bagi mereka bekerja bisa kapan saja dan dengan profesi apaun itu yang penting tidak menyalahi kaidah kerja yang benar dan menghasilkan uang yang halal. Berbeda halnya bagi mereka yang memilih kerja sejak usia kecil dan enggan belajar dengan dalih ijazah tidak menjamin kekayaan dan pendapatan harta yang fantastis. Cara berfikir yang demikian sebenarnya salah dan tidak dapat terus diabaykan begitu saja, harus ada stimulus dan sikap yang dapat memberikan merekapemahaman agar orang yang belajar tidak selalu dianggap memilih jalan yang kurang tepat dengan alasan mereka sebagai berikut:
1. Ijazah tidak menjamin harta kekayaan
2. Ijazah tidak menjamin pendapatan harta yang fantastis tiap bulan
3. Lebih baik bekerja sejak kecil dan tidak perlu sekolah karena dua alasan di atas
Pada dasarnya antara pendidikan dan ekonomi itu sangat erat kaitannya, ini tidak lagi soal konsep kebarat-baratan tapi dalam islam sudah disampaikan sejak dahulu. Bagaimanapun konsep yang dibangun oleh mereka, tetap saja mereka enggan memasukkan peran agama dalam masalah ekonomi. Hal ini berbeda dengan konsep dalam islam yang selalu menghadirkan peran agama dalam konsep ekonomi.
Islam selalu menyikapi perkembangan ekonomi, meskipun ada saja opini liar yang mengatakan bahwa agama tidak dapat menggerakan kehidupan ekonomi, lebih-lebih ekonomi kapitalis. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa agama dan ekonomi merupakan dua ranah berbeda yang memiliki titik tekan dan tujuan yang berbeda pula.
Dalam Islam selalu ada kajian terkait keduanya, seperti kajian tentang Agama dan Pendidikan: analisis relasi dan implikasinya dalam upaya pengembangan ekonomi, pengembangan ekonomi berbasis syariah di era digital, fiqh (islamic jurisprudence) dan perubahan ekonomi (economics exchange) antara idealitas dan ralitas, konsep islam tentang kepemilikan (islamic concept of ownership) dan implikasi ekonominya (its economic implications), instrumen ekonomi islam untuk kesejahteraan sosial: eksplorasi potensi zakat, infak, sadaqah dan wakaf uang, teori dan perilaku konsumsi dalam perspektif islam: memotret realitas sosial masyarakat era modern.
Dalam Islam apapun yang terkait dengan ekonomi selalu menghadirkan telaah dan konsep agama,baik mulai dari cara kerjanya dan panduan mentasorrufkan harta yang didapatkannya. Kehadiran agama dalam ekonomi bukan untuk mempersempit cara mendapatkan uang, cara kerja dan mengelola keuangan. Justru untuk kebaikan Bersama karena dalam islam selalu mendahulukan kemaslahatan umatnya.
Paparan di atas setidaknya sedikit memberikan bantahan terhadap statemen atau pandangan orangf barat yang mengatakan bahwa Islam menghambat kemajuan. Beberapa kalangan mencurigai Islam sebagai faktor penghambat pembangunan (anobstacle to economic growth). Kendatipun pandangan ini berasal dari pemikir barat namun tidak sedikit dari kalangan pemikir muslim yang mengamininya (Mohammad Thoyyib Madani, Agama Dan Pendidikan: Analisis Relasi Dan Implikasinya Dalam Upaya Pengembangan Ekonomi, Desember 2021).
Persepsi di atas jelas sangat tidak sesuai dengan realitas yang actual dan factual. Persepsi yang salah seperti ini setidaknya disebabkan adanya kesalah pahaman terhadap Islam itu sendiri. Sehingga seakan-akan menjustifikasi bawa Islam merupakan agama yang hanya berkaitan dengan masalah ritual saja, bukan hadir sebagai suatu sistem yang komprehensip dalam cakupan aspek kehidupan umat manusia, baik terkait ritual ataupun kewajiban, sosial dan juga ekonomi yang menjadi motor penggerak roda perekonomian seluruh umat semesta alam.
Menurut Sjafruddin, dalam kehidupan ekonomi perilaku individu itu tidak lepas dari dua motif didorong, yaitu motif ekonomi dan motif agama. Motif ekonomi sendiri tidak lepas dari dorongan adanya rasa takut terhadap kekurangan dan kemelaratan hidup(miskin) sehingga membuat manusia selalu berupaya mengumpulkan harta sebanyak mungkin. Perasaan takut yang demikian dapat menjadikan gaya hidup manusia menjadi makhluk serakah dan berambisi besar tanpa memperhatikan panduan dalam kaidah dalam agama.
Sebaliknya agama menurut Sjafruddin justru mengajarkan manusia untuk senantiasa menjauhkan diri dari perasaan takut. karena memang yang wajib ditakuti hanyalah Allah SWT.
Kendati demikian bukan berarti dalam Islam tidak menganjurkan umatnya untuk bekerja keras dalam mencari nafkan dan menjadi orang yang kaya raya. Islam tetap menginstruksikan umatnya untuk semangta bekerja, bekerja keras dan bekerja cerdas untuk menghasilkan uang yang banyak dan tentunya halal dengan kaidah-kaidah agama islam yang hadir di dalamnya. Allah berfirman dalam Surat al-Jum’ah ayat 9-10 sebagai berikut:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ، فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jum’ah, ayat 9-10)
Dari penggalan di atas terdapat instruksi bahwa setelah usai mengerjakan sholat jum’at hendaknya berpencar untuk mencari karunia Allah, tentu diantara interpretasi dari penggalan ayat ini adalah untuk mencari nafkah. karena nafkah bagian dari karunia dari Allah.
Syekh Abu Manshur al-Maturidi mengatakan:
وقوله - عز وجل -: (فإذا قضيت الصلاة فانتشروا في الأرض وابتغوا من فضل الله واذكروا الله كثيرا لعلكم تفلحون (10) أي: رحمة الله؛ هذا خرج في الظاهر مخرج الأمر، ولكنه في حكم الإباحة عندنا؛ لأن هذا أمر خرج على أثر الحظر،
Artinya, “Firman Allah “apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”, maksudnya beruntung mendapat rahmat Allah. Ayat ini secara lahir dibentuk dalam kata perintah, namun berada dalam hukum ibahah (memperbolehkan) menurut pendapat kami (Ahlussunnah wal Jamaah), sebab ini adalah perintah yang disebutkan setelah larangan.”
Ayat di atas setelah memerintahkan untuk sholat jumat kemudian menganjurkan atau membolehkan umatnya untuk berpencar Kembali agar menjari karunia Allah. Manusia sendiri sejatinya adalah homo economicus, meskipun juga harus disandingkan dengan pandangan yang menyatakan bahwa manusia itu adalah makhluk homo religious. Sehingga mereka akan selalu memanfaatkan alam kebendaannya ini dengan cara yang sebaik-baiknya, yang pada gilirannya adalah untuk mendatangkan kemaslahatan.
Allah swt. Berfirman dalam hadist qudsi
يا دنيا اخدمي من خدمني واستخدمي من خد مك
Artinya, “Wahai dunia, berkhitmadlah kamu kepada orang yang telah berkhitmad kepada-Ku, dan perbudaklah orang yang mengabdi kepada-mu”.
dari paparan di atas menjelaskan bahwa agama sangat erat kaitannya dengan ekonomi, agama Islam sendiri memerintahkan agar umatnya selalu belajar dan menuntut ilmu sepanjang masa. Sehingga dnegan pengetahuannyalah kemudian ia selain bisa mempunyai keilmuan untuk melaksanakan kewajiban sebagai umat islam juga kaidah-kaidah hidup bersosial yang kaitannya erat dengan ekonomi.
Bagaimanapun merea memisahkan relasi antara ilmu dan ekonomi, tetap saja sampai kap[anpun dalih mereka tidak dapat memutus relasi keduanya. karena memang keduanya sangat erat kaitannya dalam kehidupan manusia. Allah memerintahkan umat manusia selain untuk belajar juga diperintahkan untuk mencari nafkah sehingga dapat bertahan hidup dengan baik.
Jika ada yang mengatakan bahwa ijazah tidak ada kaitannya dengan cara mendapatkan harta, tentu bisa dibenarkan. Namun dengan mempunyai keilmuan akan menyadarkan kita bahwa dengan kita kaya bukan berarti harus lupa pada siapa yang maha pemberi dan siapa yang harus selalu disembah dan diesakan. Kendatipun mencari ilmu bukan semata-mata untuk mendapatkan harta yang banyak dst. belajarhanyalah untuk melajar, mencari ridho Allah dengan mempelajari ilmunya dan berupaya mentas dari kebodohan-kebodohan yang selalu menghantui umat manusia.
Islam sendiri mempunyai konsep dan pandangan yang jelas mengenai perihal harta dan kegiatan ekonomi. Pandangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama: pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini, termasuk harta benda, adalah Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya. Kedua; status harta yang dimiliki manusia adalah harta sebagai amanah, sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebihan, sebagai ujian keimanan, sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan muamalah di antara sesam manusia, melalui kegiatan zakat, infak dan sedekah, Ketiga: Pemilikan harta dapat dilakukan antara lain melalui usaha yang halal dan sesuai dengan aturan-Nya. Keempat: dilarang mencari harta, berusaha, atau bekerja yang dapat melupakan kematian, melupakan dzikrullah, melupakan shalat dan zakat, dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja. Kelima: dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba, perjudian, berjual beli dengan barang yang dilarang atau haram, mencuri, merampok, peggasaban, curang dalam takaran dan timbangan, melalui cara-cara yang batil dan merugikan, dan melalui suap menyuap (Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani Press, 2001).
0 Komentar