A. EPISTEMOLOGI PENDAHULUAN
Permasalahan pada peradaban Islam arab selama ini dianggap seperti permasalahan antara model paradikma barat dan paradikma kunol yang otentik dan mencakup semua aspek hidup. Banyak tokoh atau pemikir muslim yang menyuarakan seperti apa seharusnya kebangkitan Islam itu dimulai, mencari penyebab kemunduran Islam dan bagaimana seharusnya memulai pembaharuan dan kemajuan.
Umat Muslim sejauh ini jika dilihat dalam menghadapi tantangan modernitas maka lebih cenderung pada jalan bersembunyi di balik justifikasi teks. Yang demikian ini membuat umat muslim cenderung pada tekstual dalam menjawab permasalahan zaman.
Muhammed al-Jabiri merupakan filsuf muslim yang hadir dari maroko. al-Jabiri bagian dari pemikir terkemuka dalam pemikirannya tentang relevansi tradisi pada zaman yang maju atau modernis. Diantara pemikiran al-Jabiri ialah tentang modern itu sendiri, aljabiri begitu semangat dalam membangun epistem baru yang relevan dengan perkembangan zaman. Ia begitu tidak puas pada pembaharuan yang sudah ada, menurut al-Jabiri mereka begitu berlebihan menyanjung pencapaian kejayaan islam dahulu sehingga lebih cenderung mengabaikan keadaan masyarakat pada zaman yang sudah modernis.
Menurut Muhammed Abid alJabiri tradisi bukan produk yang satu kali jadi, tradisi merupakan permasalahan sejarah yang berkembang di antara manusia, saling mengisi satu dengan lainnya, dan saling mengkritisi serta bahkan bisa saling menjatuhkan. Karena tradisi ialah sesuatu yang datang dan menyertai kehidupan kita, ia merupakan perkara yang hadir dari masa lalu kemudian menjadi hal yang diingat lalu melahirkan cara berfikir pada memori yang ada. Sehingga hal itu jadi pembentuk daya ingat yang kolektif dan bisa membatasi munculnya sikap ilmiah dan rasional terkait tradisi sendiri, pun juga memberi pandangan yang rasional padanya.
Abid al-Jabiri menguasai teori yang dibawa oleh Karl Marx. Akan tetapi dengan majunya pemikiran al jabiri dan juga setelah baca buku karyanya Yves Lacostee yang bersikap membandingkan terhadap pemikiran Ibn Khaldun dengan Karl Marx, al-Jabiri mulai ragu pada keefektifitasan pendekatan Marxian pada kontek sejaran pemikiran Islam.
B. BIOGRAFI MUHAMMAD ‘ABED AL-JABIRI
Al-Jabiri merupakan seorang yang memposisikan dirinya sebagai pemikir asal Maroko, ia pemikir islam dari sekian pemikir muslim modern yang punya kepedualian pada permasalahan tradisi dan modernism. Dia dikenal karena proyek dalam bentuk kritik nalar Arab dalam membangun kiritik pada pemikiran Arab-Islam. proyek utamanya ialah membangun ulang semangat kritiss dan rasiional dengan membukakan tentang lemahnya nalar kuno ketika menghadapi sekian modernism dan juga kegagalan-kegagalan cara berfikir modernis, yang khususnya pada bidang agama yang di akhirakhir ini malah menunjukkan keterpurukan atau mkemerosotan dunia Islam secara keseluruhan.
Aljabiri lahir tepat 27 Desember 1935 di Maroko. Ia besar dan tumbuh dengan keluarga yang mendukung parti istiqlal, yakni partai yang berjuang untuk kemerdekaan Maroko yang diabawah koloni prancil dan juga spanyoll. Setelah maroko merdeka maka negara maroko mengenal dua bahasa resmi yaitu arab dan juga Perancis.
Gelar doctor ia dapat diuniversitas Muhammad V Rabat maroko di tahun 1970, dengan disertaisi yang bahas pemikiran Ibnu khaldun yaitu Fanatisme dan Negara: Elemen Teoritik Khaldunian dalam Sejarah Islam. Al-Jabiri banyak menyelesaikan pendidikannya dari0tingkat dasar sampai perguruan tinggi di tanah kelahirannya.
Tugas atau proyek pembaharuan mendorong abid untuk terus menganalisa gambaran sosial politik dan terbentuknya nalar Arab Islam yang ada,al-jabiri sekaligus menganalisisa dengan dalam terkait mekanisme struktur cara kerja nalar Arab yang sering terjadi saling benturan dalam memperebutkan0hegemoni di tengah budaya Arab Islam.
Kritik nalar arab yang dilakukan aljabiri sebagai upaya untuk menghasilkan prodak teori yang dibentuk oleh kebudayaan yang menggambarkan keadaan realita dan ambisi pada masa depan. Sikap perhatiannya yang fokus pada cara berfikir atau pemikiran sebagai sebuah perangkat berfikir bukan hanya sebatas sebagai produk. Maka dengan demikian0wilayah dalam kritik yang dikembangkan sayapnya merupakan wilayah epistemologi.
Abid aljabiri mengawali kritiknya dengan menaruh nalar arab terlebih dahulu pada posisi yang sama dengan nalar yunani dan juga eropa. Ketiga nalar itupun memunyai kesamaan karakter, ketiga nalarnya dibangun dengan pemikiran atau teori yang bersifat rasional dan memberjelas pada hubungan antara tuhan, manusia dan alam semesta. Perbedaan ketiganya berada pada pemahaman tentang keberadaan tuhan itu sendiri.
Adapun konsep tuhan didalam nalar pemikiran yunani pada akal baru muncul setekah adanya alam. Sedangkan di pemikiran barat tidak ditemui onsep tentang tuhan. Akal secara universal yang di persepsi sebagai tuhan dalam nalar yunani justru dalam nalar barat diposisikan dengan hokum mutelak bagi akal manusia.
Di dalam nalar pemikiran arab disebutkan bahwa alam memainkan peran sebagai petunjuk untuk manusia dalam menyingkap tuhan dan menjelaskan terkait hakikatnya sendiri. Akalbdiharapkan agar bisa merenungkan alam untuk bisa sampai pada penciptanya atau wushul kepada sang pencipta dan mengetahui betapa agungnya dan kuasanya tuhan.
Terkait pengetahuan, pengetahuan itu sendiri sangat terikat dengan pengalaman pada akal yang ditangkap oleh panca indera dari sekian fakta atau realita yang telah terjadi. Sedangkan nalar arab tidak menampakkan epistemology yang berurutan. Epistemology naar arab berlombat-lompat dan sangat gampang pindah dari satu episteme kepada episteme yang lainnya.
Maka dengan demikian aljabiri mengusulkan pencatatan ulang pada sejaran pembangunan nalar arab. sejauh ini sejarah yang ada ditulis dan diajarkan di ekolah hanya sebatas sejara yang bersifat opini. Catatan sejarah sendiri yang sudah ada membiarkan keadaan ini dengan tumpang tindih karena itulah dibutuhkan penyusunan ulang sejarah keilmuan arab yang berorientasi pada nalar keilmuan.
Aljabiri menguslkan hal itu dengan tujuan agar titik tolak sejarahnya dalah era kodifikasi, yaitu dengan meletakkan era kodifikasi sebagai titik tolak sejarah. Aljabiri lalu membagi sejarah nalar arab menjadi tiga masa, yakni masa sebelum, selama dan setelah kodifikasi.
Semua yang diketahui pada era kofidifikasi dibentuk pada era kodifikasi an juga segala hal yang setelah era kodifikasi tida bisa difahami dnegan mengaitkan pada era odifikasi. Adapun benang merah yang merangkai sebagai gambaran dari ketiga nalar ara tersebut dan membentang sampai bentuk realitas keadaan yang umum dalam kebudayaan islam arab.
Dengan cara menelusuri pada apa yang disebut dengan benang merah inilah aljabiri kemudia menemukan yang disebut dengan bayani, irfani dan burhani. Ketiga pengetahuan ini memang terlihat tumpang-tindih, namun dengan kita uraikan latar belakang epistemologinya maka tiga system pengetahuan ini bisa dilacak dengan epistemologinya dalam kebudayaan arab pada masa yang begitu jauh sebelum era kodifikasi sendiri. Masa itu ialah era kodifikasi kuno. Kebudayaan arab kuno itulah yang kemudian menjadi pondasi dasar dalam mengembangkan keilmuan pada masa kodifikasi.
C. TRILOGI NALAR ALJABIRI
Definisi epistimologi menurut AlJabiri sendiri ialah sejumlah konsep dan prinsip dasar beserta aktivitas dalam upaya untuk mendapatkan pengetahuan di suatu era historis tertentu, yakni struktur bawah sadarnya. Abid al-jabiri berusaha untuk mengenalkan pemikirannya sebagai system atau lebih tepatnya sebagai epistemelogi yang berada pada nalar bayani, rfani dan burhani.
Pengetahuan pada ranah pemikiran islam saat dihadapkan dengan tradisi maka tidak akan diperoleh tanpa menggunakan paradigm yang utuh yang sifatnya objektif, kritis dan rasional. Maka dibutuhkan merode yang dapat digunakan untuk batu loncatan sebagai sarana berfikir yang kritis dan objektif. Metode structural menganggap hal itu sesuai berdasarkan sifatnya yang terikat dengan suatu system beserta pemisahannya dengan objek pembaca maupun konteksnya sendiri. Lalu agar dapat menghasilkan instrument yang baik dan sempurna dengan tujuan bisa menyesuaikan antara tradisi dan masa sekarang maka metode yang sifatnya rasional diadopsi dan dikombinasikan dengan tujuan dapat menghasilkan cara berfikir yang utuh0dan saling melengkapi.
Wacana pembacaan pada tradisi dalam pemikiran arab islam itu ada tiga pembacaan yang berbeda-beda. Ketiga pembacaan itu ialah syarat untuk bisa membuka konteks dan maknanya. Adapun yang pertama ialah pembacaan yang fundamentalis. Konsep ini melihat sejarah sebagai suasana yang dikembangkan pada masa sekarang. Fundamentalisme memposisikan spiritual sebagai penggerak sejarah dan fakto yang lain diposisikan yang tergantung pada spiritual. Pembacaan yang kedua ialah pembacaan yang liberal, yakni pembacaan ang lebih ke gaya pembacaan gaya eropa yang menjadi titip tumpu, konsepnya tradisi yang menjadikan anggapan masarakat arab yang liberal tentang tradisi islam arab berasal dari barat. Adapun pembacaan yang ketiga ialah marxisme, yakni rencana untuk melakukan pemulihan pada tradisi agar dapat menjadikan revolusi dan menjadikan pijakan yang kyuat untuk tradisi. Tapi pembacaan ini tidak menggunakan metode dialek untuk metode yang akan dipakai, melainkan sebatas metode yang sudah digunakan.
Abid memperoleh tiga pembacaan itu saling memiliki kelemahan yang mudah disalahkan. Hal itu dikarenakan adanya kelemahan yang melingkupidalam metode dan visinya. Menurut aljabiri metode yang dipakai itu kurang objektiv dan visi yang digunakan punya kekurangan dalam segi historis. Terkhusus pada pembacaan maxisme yang hanya bisa membuktikan kehebatan metode itu sendiri, ini merupakan alasan mengapa mpembacaan hapir tidak seproduktif sama sekali menurut pemikiran aljabiri.
Semua pemikiran arab modern ditandai dengan adanya kekurangan sikap objektivitas serta perspektif dari segi historis. Dengan demikian menjadikan pemikiran arab sendiri tidak bisa menawarkan apapun dari tradisi kecuali hanya pembacaan yang sifatnya fundamentalis dalam menyikapi masa dahulu dengan sesuatu yang bersifat transenden dan sakral, dengan terus berusaha mencarikan solusi di dalam persoalan tradisi yang ada dan persoalan kekinian yakni persoalan yang ada pada masa kini dan juga masa depan. Perihal yang seperti ini juga berlaku dalam pemikiran madzhab dan juga merujuk pada pandangan yang menghubungkan dengan masa lalu ataupun model yang berdasar pada masa lalu. Maka dengan demikian abid menawarkan sebuah analisa yang begitu cermat dan bersifat kritis yang begitu dalam sebelum abid mengusulkan pembaharuan dan modernisasi nalar arap sendiri.
Dalam proses upaya memberi sebuah argument beserta mengungkapkan kritik nalar arab, aljabiri memakai tipologi tradisi bayani, irtfani dan burhani. Abid menyerukan agar membangun epistemology nalar arab dengan tiga metodologi pemikiran di atas.
Epistem Bayani
Epistem bayani merupakan model atau metodologi dalam berfikir yang berdasar pada teks, teks suci yang memiliki kekuasaan penuh untuk memberikan arah beserta kebenaran. Sedangkan rasio hanyalah sebatas berfungsi sebagai pembuka jalan atau pengawal bagi teramankannya kekuasaan ataupun otoritas dari teks tersebut.
Dalam jurnal alhikmah, yakni jurnal theosofi dan peradaban islam dijelaskan bahwa secara bahasa bayani berarti penjelasan. Berdasarkan beberapa makna aljabiri mengartikan bayani sebagai alfashl dan juga infishal yang dalam keterkaitannya dengan metodologi adan adduhur wal idhar berkaitan dengan visi daripada metode bayani sendiri.
Cara fikir bayani lebih mendahulukan analogi atau dikenal dengan qiyas meyerupaan dari pada logika ataupun mantiq yang melalui silogisme dan premis logika. Dalam tradisi bayani sendidi spistemologi tekstual pembahasan lebih dutamakan dari pada epistemology kontekstual analisa maupun spiritual genosis batiniyah. Kemudian disamping itu nalar epistemology bayani selalu bersikap curiga pada akal karena menganggap hal itu akan menjauhi kebenaran tekstual.
Sikap kecurigaan tersebut sampai pada titik kesimpulan bahwa wilayah kerja akal itu perlu untuk dibatasi sedemikian rupa dan peranna dialihkan menjadi pengatus dan pengekang hawa nafsu. Bukan untuk mencari sebab dan musabbab melalui analisa keilmuan yang akurat.
Dunia ialah wilayah yang berpisah atau entitas konkrit yang terbang bebas, dunia taka da kaitannya dengan apapun antara mereka kecuali dengan melalui kehendak tuhan semesta alam. Mudahnya jika si A terkait dengan B maka hubungannya itu menjadi tidak ilmiah, akan tetapi karena tuhan memang menghendakinya demikian. Teori yang atomisme berarti juga menyangkal terhadap hokum kausalitas atau sebab musabbab, yakni sebagai akibat dari penerimaan terhada prinsip serba bolehnya. Hal ini karena segala sesuatu berasal dari tuhan dank arena kehendak tuhan serta tidak ada satupun yang bisa membatasi kekuasaannya yang bisa membatasi. Maka secara logika saja kemungkinan untuk mengakui bahwa tuhan bisa saja mengumpulkan antara dua hal yang kontradiktif, seperti mempertemukan antara kertas dengan api tanpa melalui proses pembaaran kepada kertas terlebih dahulu.
Karena itu dalam peradaban islam diskusi seputar kajian bayani dikelompokkan menjadi dua kelompok, kelompok pertama terkait dengan aturan dalam menafsirkan wacana, sedangkan kelompok kedua terkait dengan syarat memproduksi wacana, tradisi untuk menafsirkan wacana tersebut sudah muncuk sejak zaman Nabi. Yakni ketika para sahabat hendak meminta penjelasan terkait makna lafadz yang terdapat dalam alquran, atau setidaknya sejak zaman khulafaurrasyidin yang mana banyak umat muslim yang bertanya kepada para sahabat tentang penjelasan makna ayat yang ada dalam alquran yang tidak difahami oleh salah satu orang.
Epistem Irfani
Irfani ialah lanjutan dari bapa bayani, hanya saja kedua pengetahuan tersebut berbeda satu sama lain. Bayani bendasari pengetahuan berpijak pada teks, dan irfani mendasari pengetahuannya pada kasy yakni tersingkapnya rahasia-rahasia tentang tuhan.. karena itu kemudian irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa terhadap teks, tetapi dari nurani hati yang bersih dan suci. Sehingga tuhan menyingkap sebuahpengetahuan.
Irfani bekerja dengan proses pemahaman yang berangkat dari makna tejs menuju lafadz teks. Permasalahannya adalah bagaimana cara mengungkapkan makna atau dimensi batin yang diperoleh dari prose kasf itu sendiri. Aljabiri mengungkapkan bahwa makna tersebut bisa diungkap dengan menggunakan cara yang disebut dengan qiyas irfani. Yakni analogi makna batin yang diungkapkan dalam kasf pada makna dzahir yang terdapat dalam teks.
Dari kalangan mereka, yakni irfanidalam dunia islam menjadikan istilah dzahir dan bathin sebagai sebuah konsep yang menjadi landasan cara berfikir dalam memandang dunia dan mempelakukan segala sesuatu. System berfikir yang mereka gunakan ialah berangkat dari yang bathin menuju yang dhahir. Dari makna menuju lafzd. Bathin bagi mereka merupakan sumber pengetahuan dikarenakan bathin merupakan hakikat sedangkan dzahir teks adalah penyinar saja.
Epistem Burhani
Burhani merupakan model metodologi dalam berfikir yang tidak berdasar atas teks ataupun pengalaman, tapi atas dasar keruntutan cara berfikir. Pada tahap tertentu keberadaan teks yang suci dan pengalaman spiritual bahkan hanya sebatas bisa diterima jika hal itu sesuai dengan aturan yang logis atau masuk akal.
Epistemologi burhani adalah episteme yang bersumber dari realitas atau al-waqiiyah baik realitas alam dan social ataupun realitas humanitas mdan juga realitas agama. Ilmu yang muncul dari tradisi burhani disebut dengan al-ilm al huá¹£uli, yaitu ilmu yang dikonsep dan disusun serta disistematisasi melalui premis logika.
Adapun pondasi epistemology burhani itu dibangun oleh ilmuwan yakni alkindi. Menurutnya ada dua macam pengetahuan, yang pertama ialah pengetahuan para rosul yang didapatkan melalui ilham dan juga risalah kenabian. Yang kedua pengetahuan manuasia umum yang diperoleh dari usaha penalaran dan inderawinya. Menurut alkindi alam bersifat baru. Allah menciptakan alam dari ketiadaan dan tanpa elantara. Menurutnya akal dan indera dapat digunakan untuk mengonstruksi pengetahuan tentang alam.
Pandangan alkindi inilah yang kemudian0dikembangkan oleh alfarobi. Akal manusia sangat cukup mempunyai kekuatan dengan mengandalkan pribadinya sendiri. Akal tidak membutuhkan sumber yang dijadikan tempat kembali bagi perkara dan kondisi yang baru melalui analogi, dan juga tidak butuh pada ilham ataupun guru yang kemudian mentransfer pengetahuan. Di dalam akal sudah terdapat asumsi dasar yang menjadi landasan bagi ilmu yang menjadikannya titik awal dan titik tolak dalam proses argumentasi dengan menyusun konsep qiyas burhani. Prinsip umum yang mengarahkan proses burhani adalah prinsip kausalitas atau sebab akibat.
KESIMPULAN
Mehammed aljabiri ialah filsuf yang juga sekaligus pemikir arab yang hidup dalam masa ranionalisme dan demokratis tidak lagi dihargai. Bahkan aljabiri sendiri dilecehkan oleh bangsa arab sendiri kala itu.
Aljabiri dalam mengkaji ataupun mengkritisi sebuah tradisi menggunakan pendekatan historis, objektif dan juga kontinuitas. Historis dan0objektivitas sama sama dalam arti pemisalahanantara si pebaca dan bjek bacaannya. Sedangkan kontinuitas menghubungkan sang pembaca dengan objek bacaannya yang kemudian kebenaran pengetahuan bisa divalidasi melalui episteme nalar bayani, irfani dan burhani.
Pemikiran abid aljabiri ini telah0memberikan banyak warna tersendiri dalam pembaharuan pemikiran islam. Kritik yang ditawarkan aljabiri membukan jalan yang lebar pada dunia islam terkait bangunan nalar-nalar epistemic yang selama hidup ditengah peradaban islam. Menurut aljabiri kesadaran itu palsu sebab secara teoritis menolak barat dengan semua modernitasnya. Tapi disisi yang lain dalam realitanya tida bisa melepaskan diri dari peradaban arab yang sudah berkembang dan mempengaruhinya.
Aljabiri menggemukakan bahwa sikap umat islam saat ini pada tradisinya sendiri harus memulai dari tradisi demonstrative yang bersifat harus rasional seperti halnya yang telah dikembangkan oleh tokoh pemikir islam yang ada di wilayah barat seperti ibnu hazm dan juga ibnu rusy dan ibnu kahldun. Model epistemology yang dikembangkan oleh mereka ialah rasional dan empiris, sebab sifatnya ilmiah. Model episteme inilah yang kemudian memiliki daya lawan dalam menghadapu tantangan internal dan eksternal.
DAFTAR PUSTAKA
Nurfitriyani Hayati, Epistemologi Pemikiran Islam Abed Al-Jabiri dan Implikasinya Bagi Pemikiran Keislaman,Journal Of Islamic & Studies, Vol. 3 No. 1 Januari-Juni 2017
Ahmad Baso, Muhammad Abid Al-Jabiri, Post-tradisionalisme Islam, penj. (Yogyakarta: LkiS, 2000)
Achmad Bahrur Rozi, Menimbang Gagasan Epistemologi Islam Al-Jabiri Sebagai Solusi Kebangkitan Islam Modern, Empirisme, Vol. 27 No. 2 Juli 2018 | 73-86
Muhammad Abed al-Jabiri, Kritik Pemikiran Islam; Wacana Baru Filsafat Islam, penj. Burhan (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002)
M. Aunul Abied Shah (et. al), Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Penerbit Mizan, 2001),
M. Faisol, Struktur Nalar Arab-Islam Menurut Muhammad Abid al-Jabiri, Jurnal Tsaqafah, Vol. 6, No. 2, Oktober 2010
Mahir Badul Qadir Muhamad, Falsafah al-Ulum, Ru’yah Arabiyah: al-Madkhal al Nazhari (Aleksandria: Dar al-Ma’rifah al-Jami’iyah, 1999)
Bagus Mustakim, Pemikiran Islam Muhammad Abed Al-Jabiri: Latar Belakang, Konsep Epistemologi, Urgensitas Dan Relevansinya Bagi Pembaruan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Journal Of Research And Thought Of Islamic Education Vol. 2, No. 2, 2019
Arini Izzati Khairina, “Kritik Epistemologi Nalar Arab Muhammad Abed Al-Jabiri”, El-Wasathiya: Jurnal Studi Agama, Vol. 4, No. 1, 2016, h. 105-116.
Nurliana Damanik, jurnal al-hikmah (jurnal theosofi dan peradaban islam), Vol. 1 No. 2 Juni-November 2019 e-ISSN : 2655-8785
M. Amin Abdullah, “at-Ta’wil al-‘Ilmi: Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci,” dalam Jurnal al_Jami’ah, Journal of Islamic Studies, Vol. 39, No. 02 (2001)
A. Khudori Sholeh (ed.), “Model Epistemologi Islam Al-Jabiri dalam Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: Jendela, 2003)
Al-Jabiri, Bunyat al-Aql
Mohammad Abed Al-Jabiri, Formasi Nalar Arab; Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Intereligius,
0 Komentar