Manajemen Pendidikan Agama Pada Suami Istri

 


A. Pendahuluan 

Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari tiga hal, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Keberhasilan pendidikan dalam suatu Negara atau daerah tergantung kepada tiga faktor tersebut. Ketiganya mesti bersinergi dalam mengelola dan mengembangkan pendidikan. Dan setiap faktor tersebut mempunyai fungsi dan peranan yang sangat penting untuk mencapai tujuan pendidikan. Tetapi dalam makalah ini tidak akan dibahas ketiga faktor itu, namun yang akan dibahas hanya terfokus pada salah satu faktor dari ketiga faktor tersebut, yaitu keluarga.

Pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama. Sebagai pendidikan yang pertama, pendidikan dalam keluarga menempati urutan paling awal dalam perjalanan proses pendidikan yang dialami seseorang. Pendidikan dalam keluarga mendahului semua jenis pendidikan yang diterima dan dialami semua orang. Pendidikan dalam keluarga mampu mendasari dan mewarnai corak kepribadian seseorang dalam seluruh perjalanan hidupnya. Pengalaman-pengalaman yang diserap masa kecilnya sangat berpengaruh pada perilaku individual dan perilaku sosialnya dalam pergaulan hidup ditengah masyarakat. Apalagi masa kecil merupakan masa emas bagi penanaman, pembentukan, dan pengembangan intelektual, perilaku, kebiasaan, dan karakter seseorang.

Manusia adalah pelaksana dari pendidikan. Dalam al-Quran, manusia sebagai makhluk Allah yang mempunyai dua tugas utama yaitu sebagai Khalifah fi al-Ardh dan sebagai hamba (‘abid) yang diperintahkan untuk melaksanakan segala perintahNya dan menjauhi laranganNya dengan bekal dasar yaitu penglihatan, pendengaran, potensi akal (af-idah) dan dengan ketiga indera tersebut merupakan sarana dasar manusia dalam menerima pendidikan. walaupun pada awalnya manusia dilahirkan dalam keadaan tidak mengetahui apapun.

Pendidikan dalam Islam bukan sarana mencari materi saja. Russell menbedakan ujuan pendidkan: pribadi uuh atau warga yang baik, meskipun pribadi utuh menjamin warga Negara yang baik.

Dimensi pendidikan Islam dapat dilihat dari makna yang terkandung dalam istilah tarbiyah yang berarti pengasuhan, pendidikan, ta’lim pengajaran ‘ilm, atau ta’dib yang berarti penanaman ilmu dan adab. Masalahnya kini umat Islam cenderung mamahami pendidikan sekolah hanya sebatas makna ta’lim pengajaran (pengajaran ilmu). Sedangkan tarbiyah (pendidikan) dilakukan diluar sekolah. Sepertinya ta’lim dipahami sebagai pendidikan formal dan tarbiyah sebagai pendidikan non-formal atau informal dalam pengertian Barat. 

Akhirnya ta’lim tidak berupa pengajaran ‘ilm yang mengarah pada keimanan dan ketaqwaan dan tidak berdimensi tarbiyah. Sedangkan tarbiyah nya tidak berunsur ta’lim. Nampaknya nilai-nilai dualisme, sekularisme, dan humanisme telah masuk ke dalam konsep pendidikan kita. Dengan nilai dualisme pengajaran dipisahkan dari pendidikan, dengan sekularisme ilmu yang diajarkan dibagi menjadi ilmu dunia dan ilmu akherat. Dengan nilai humanisme pendidikan dan pengajaran diarahkan untuk kepentingan manusia yang tidak ada kaitannya dengan Tuhannya. Ilmu akhirnya tidak lagi untuk ibadah tapi untuk kemakmuran manusia

Pendidikan agama pada orang tua sangat sulit jika dilakukan oleh keluarganya, karena mungkin orang tua merasa lebih luas pengetahuanya, orang tua lebih dihargai bahkan mungkin orang tua sudah merasa sulit untuk diarahkan. Banyak kita temui orang tua yang belum bisa membimbing anaknya dengan baik. Faktor ini disebabkan karena kurangnya pengalaman dari orang tua, kurangnya pendidikan agama dari orang tua. Namun sebaliknya ada orang tua tidak mempunyai kompetensi mengajar kepada anaknya akan tetapi orang tua lebih mengikuti pengajian di lingkungan sebagai pendidikan agama. Ini yang akan tertanam dalam jiwa orang tua yang akan mencerminkan kesadaran bagi orang tua. Namun tidak semua orang tua mau seperti itu, lebih banyak orang tua dengan kesibukanya sehingga merasa belum ada waktu atau kesadaran.


B. Konsep Pendidikan Islam

Jika makna pendidikan Islam telah terdistorsi oleh konsep-konsep dari Barat, maka konsepnya sudah tentu bergeser dari konsep dasar pendidikan Islam. Konsep pendidikan Islam mestinya tidak menghasilkan SDM yang memiliki sifat zulm, jahl dan junun. Artinya produk pendidikan Islam tidak akan mengambil sesuatu yang bukan haknya, atau meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya (zalim), tidak menempuh cara yang salah dalam mencapai tujuan (jahil) dan tidak salah dalam menentukan tujuan hidup.

Oleh sebab itu pendidikan Islam harus di-reorientasikan pada konsep dasarnya, yaitu merujuk kepada pandangan hidup Islam, yang dimulai dengan konsep manusia. Karena konsep manusia adalah sentral maka harus dikembalikan kepada konsep dasar manusia yang disebut fitrah. Artinya pendidikan harus diartikan sebagai upaya mengembangkan individu sesuai dengan fitrahnya. Seperti yang tertuang dalam al-A’raf, manusia di alam ruh telah bersyahadah bahwa Allah adalah Tuhannya. Inilah sebenarnya yang dimaksud hadith Nabi bahwa “manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah.”

Fitrah tidak hanya terdapat pada diri manusia, tapi juga pada alam semesta. Pada keduanya Allah meletakkan ayat-ayat. Namun karena fitrah manusia tidak cukup untuk memahami ayat ayat kauniyyah, Allah menurunkan al-Qur’an sebagai bekal memahami ayat-ayat pada keduanya. Pada ketiga realitas tersebut (diri, alam dan kalam Allah yakni al-Qur’an) terdapat ayat-ayat yang saling berkaitan dan tidak bertentangan. Oleh sebab itu jika manusia dengan fitrahnya melihat ayat-ayat kauniyyah melalui ayat-ayat qauliyyah, maka ia akan memperoleh hikmah.

Agar konsep dan praktek pendidikan Islam tidak salah arah, perlu disusun sesuai dengan fitrah manusia, fitrah alam semesta dan fitrah munazzalah, yaitu al-Qur’an. Jika proses Pendidikan itu berjalan sesuai dengan fitrah, maka ia akan menghasilkan rasa berkeadilan dan sikap adil. Adil dalam Islam berarti meletakkan segala sesuatu pada tempat dan maqamnya. Artinya, pendidikan Islam harus mengandug unsur iman, ilmu dan amal agar anak didik dapat memilih yang baik dari yang jahat, jalan yang lurus dari yang sesat, yang benar (haqq) dari yang salah (batil).

Pendidikan Islam tidak hanya menekankan pada aspek kognitif (ta’lim) dan meninggalkan aspek afektif (amal dan akhlaq). Pendidikan yang terlalu intelektualistis juga bertentangan dengan fitrah. Al-Qur’an mensyaratkan agar fikir didahului oleh zikir. Fikir yang tidak berdasarkan pada zikir hanya akan menghasilkan cendekiawan yang luas ilmunya tapi tidak saleh amalnya. Ilmu saja tanpa amal, menurut Imam al-Ghazzali adalah gila dan amal tanpa ilmu itu sombong. Dalam pendidikan Islam keimanan harus ditanamkan dengan ilmu, ilmu harus berdimensi iman, dan amal mesti berdasarkan ilmu. Begitulah, pendidikan Islam yang sesuai dengan fitrahnya, yaitu pendidikan yang beradab.


C. Keterpaduan Program Pendidikan Keluarga

Keberadaan sebuah program yang jelas dalam menjalani kehidupan akan memberikan pengaruh yang positif terhadap perilaku seseorang. Jika kita benar-benar yakin pada nilai positif program tersebut dan menjalankannya dengan konsekuen, sebuah karakter positif dalam perilaku kita akan terbentuk. Adanya program hidup yang sama, akan menghasilkan perilaku yang sama pula. Oleh karena itu, program tunggal dapat dijadikan parameter untuk mengetahui sejauh mana tindakan dan perilaku kita sesuai dengan program itu.

Suami isteri harus bersepakat untuk menentukan satu program yang dengan jelas menerangkan hak-hak dan kewajiban masing-masing dalam keluarga. Islam dengan keterpaduan ajaran-ajarannya menawarkan sebuah konsep dalam membangun keluarga muslim. 

Konsep ini adalah konsep rabbani yang diturunkan oleh Allah, Tuhan Yang Maha mengetahui. Dialah yang menciptakan manusia dan Dia pulalah yang paling mengetahui kompleksitas kehidupan manusia. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa konsep yang ditawarkan oleh Islam adalah satu-satunya konsep dan program hidup yang sesuai dengan fitrah manusia.

Konsep Islam adalah sebuah konsep yang secara jelas dan seimbang mendistribusikan tugas-tugas kemanusiaan. Islam tidak pernah memberikan tugas yang tidak dapat dilakukan oleh seorang manusia dengan segala keterbatasannya. Konsep ini tidak akan pernah salah, tidak memiliki keterbatasan, dan tidak mungkin mengandung perintah dan tugas yang tidak dapat dilakukan. Penyebabnya tentu saja, karena konseptornya adalah Allah SWT.

Konsep keluarga Islami memberikan prinsip-prinsip dasar yang secara umum menjelaskan hubungan antaranggota keluarga dan tugas mereka masing-masing. Sementara itu, cara pengaplikasian prinsip-prinsip dasar ini bersifat kondisional. Artinya, amat bergantung pada kondisi dan situasi dalam sebuah keluarga dan dapat berubah sesuai dengan keadaan.

Oleh karena itu, kedua orang tua harus bersepakat dalam merumuskan detail pengaplikasian konsep dan program pendidikan yang ingin mereka terapkan sesuai dengan garis-garis besar konsep keluarga Islami. Kesepakatan antara kedua orang tua dalam perumusan ini akan menciptakan keselarasan dalam pola hubungan antara mereka berdua dan antara mereka dengan anak-anak.

Keselarasan ini menjadi amat penting karena akan menghindarkan ketidakjelasan arah yang mesti diikuti oleh anak dalam pendidikannya. Jika ketidakjelasan arah itu terjadi, anak akan berusaha untuk memuaskan hati ayah dengan sesuatu yang kadang bertentangan dengan kehendak ibu atau sebaliknya. Anak akan memiliki dua tindakan yang berbeda dalam satu waktu. Hal itu dapat membuahkan ketidakstabilan mental, perasaan, dan tingkah laku.

Riset para ahli membuktikan bahwa anak-anak yang dibesarkan di sebuah rumah tanpa pengawasan kedua orang tua sekaligus lebih banyak bermasalah dibandingkan dengan anak anak yang mendapatkan pengawasan bersama dari kedua orang tuanya.


D. Manajemen Pendidikan Agama Islam Dalam Keluarga (Suami Istri)

Pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama.  Sebagai pendidikan yang pertama, pendidikan dalam keluarga menempati urutan paling awal dalam perjalanan proses pendidikan yang dialami seseorang. Anak pada mulanya cenderung melakukan sesuatu berdasarkan apa yang dilihat, didengar, disaksikan, dirasakan dan dialaminya sebelum mendapat pengaruh dari luar baik pergaulan maupun pendidikan. 

Peran dan pengaruh pendidikan dalam keluarga sangat besar terhadap kepribadian anak bahkan sampai dewasa sekalipun. Kondisi dalam keluarga yang berperan dan berpengaruh terhadap kehidupan seseorang itu bisa berbentuk kondisi sosial, kondisi ekonomi maupun kondisi pendidikan Agama Hal ini sesusai dengan penelitian isnawati dan dina (2017) yang menyatakan keluarga mempunyai peran yang sangat penting dalam pembentukan kepribadian seseorang.

Selanjutnya, peran dan pengaruh pendidikan Agama dalam keluarga memiliki kontribusi terhadap pendidikan yang berlangsung di sekolah. Kunci keberhasilan pendidikan Agama di sekolah bukan terletak pada penggunaan metode pendidikan dan penguasaan bahanya, melainkan pada pendidikan Agama dalam rumah tangga. Inti pendidikan agama dalam keluarga itu adalah hormat kepada Allah SWT, orang tua dan guru. Maka intensitas dan optimalisasi pendidikan Agama dalam keluarga sangat membantu guru Agama dalam mengembangakan kepribadian Muslim, terutama pada peserta didik. Guru agama kemudian melanjutkan upaya-upaya transformasi perilaku peserta didik berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam yang telah diserap dalam kehidupan keluarga. Oleh karena itu pendidikan Agama dalam keluarga perlu di manage secara maksimal.

Dari beberapa penjelasan diatas dapat di tarik suatu kesimpulan bahwasanya keluarga adalah tempat pertama untuk seorang anak memperoleh pendidikan, dan keluarga sangat berperan penting terhadap pembentukan karakter serta kepribadian seorang anak bahkan sampai seorang anak menginjak usia dewasa. Sebagai suatu analogi seorang anak yang dibesarkan dari keluarga yang kurang begitu bagus, dan ketika anak pada saat itu terbiasa mendengar keluarganya berbicara kasar maka bisa dipastikan bahwa pengalaman yang mereka terima sehari-hari dalam keluarga merupakan pengalaman yang kasar. Demikian juga sebaliknya ketika mereka cenderung mengekspresikan ucapan maupun tindakan yang santun, adalah semata-mata sebagai refleksi dari pengalaman dan kebiasaan dalam keluarganya.

Oleh karena itu pendidikan yang akan diterapkan dalam keluarga harus benar-benar dimanajemen dengan baik. Karena pendidikan dalam keluarga itulah awal dari pembentukan karakter seorang anak.

Tentang kewajiban pendidikan dalam keluarga terdapat dalam Al-Qur’an Surah Al-Tahrim (66) ayat 6, Allah berfirman

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.

Ayat ini menggambarkan seruan Allah kepada orang-orang mukmin agar mereka menjaga diri dan keluarganya dari siksaan neraka, dimana neraka itu dijaga oleh para malaikat yang amat kasar. Dan mereka tidak pernah melanggar ketentuan Allah.

Pendidikan keluarga itu dimulai dari kedua orang tua, mereka mesti saling menghormati dan melaksanakan kewajiban mereka masing-masing. Selain itu mereka juga dituntut untuk selalu berbenah diri untuk menjadi insan yang shaleh dan bertaqwa kepada Allah. Kondisi ini merupakan tonggak utama dalam pendidikan keluarga. Kebiasaan orang tua dalam keharmonisan dan ketaatan kepada Allah dapat mempengaruhi anak-anak dalam keluarga tersebut.

Secara tegas ayat 6 surah al-Tahrim di atas mengingatkan semua orang-orang mukmin agar mendidik diri dan keluarganya kejalan yang benar agar terhindar dari neraka. Ayat tersebut mengandung perintah menjaga, yaitu “qu” (jagalah). Perintah menjaga diri dan keluarga dari neraka berkonotasi terhadap perintah mendidik atau membimbing. Sebab didikan dan bimbingan yang dapat membuat diri dan keluarga konsisten dalam kebenaran itu membuat orang terhindar dari api neraka. Oleh karena itu para orang tua berkewajiban mengajarkan kebaikan dan ajaran agama kepada anak-anak, menyuruh mereka berbuat kebajikan dan menjauhkan kemungkaran dengan membiasakan mereka dalam kebenaran atau kebaikan tersebut, serta memberikan contoh teladan.

Di antara usaha pendidikan yang dapat dilakukan orang tua adalah mengajak semua anggota keluarga bertobat kepada Allah. Orang tua berkewajiban membimbing dan mendidik anaknya, serta mengajak mereka selalu memohon ampunan dari Allah, menyesali perbuatan salah yang pernah dikerjakan, jika memang benar-benar bertobat kepada-Nya dan tidak akan kembali lagi kepada perbuatan tercela yang telah dilakukan tersebut. Dan sebagai balasan bagi orang-orang yang benar- benar bertobat, maka Allah menyediakan surga baginya.

Perintah mendidik keluarga juga tergambar dalam surat Taha (20) ayat 132, yaitu:

وَأْمُرْ اَهْلَكَ بِالصَّلٰوةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَاۗ لَا نَسْـَٔلُكَ رِزْقًاۗ نَحْنُ نَرْزُقُكَۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوٰى

Artinya: “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa”.

Lebih tegas ayat ini memerintahkan setiap orang tua, terutama ayah sebagai kepala keluarga, memerintahkan anggota keluarganya mendirikan shalat. Dalam suatu riwayat ditegaskan bahwa nabi bersabda yang maksudnya; “suruhlah anakmu mengerjakan shalat ketika berumur tujuh tahun, dan apabila anak itu sudah berusia sepuluh tahun tidak mau juga mengerjakan shalat maka berikanlah hukuman keatasnya”. Riwayat ini menggambarkan, bahwa orang tua berkewajiban memerintahkan anak-anaknya menjalankan perintah agama terutama shalat.

Kewajiban memerintahkan anggota keluarga mengerjakan shalat berarti wajib pula bagi kepala keluarga mengajarkan anggota keluarganya hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan shalat. Demikian pula mendidik anggota keluarga dalam mendirikan shalat orang tua dituntut kesabaran dan keuletan dalam mendidik anggota keluarga terutama anak-anaknya.

Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwasanya Pendidikan dalam keluarga bila dipandang dari perspektif agama sangat jelas tertera dalam al-Qur’an surah al-tahrim ayat 6 serta al-Qur’an surah Taha ayat 132 tersebut, menggambarkan kewajiban suatu keluarga mendidik dan membimbing anggota keluarganya. Dari sini dapat diartikan pula, bahwa kesepakatan antara seorang laki-laki dan wanita untuk menikah mestinya dimaknai sebagai kesepakatan mereka mendirikan lembaga pendidikan keluarga, dimana suami dan istri (ayah dan ibu) sebagai murabbi atau mu’addib (pendidik) dan anggota keluarga lainya khususnya anak sebagai peserta didik. Untuk itu, menjadi seorang ayah atau ibu mestilah memenuhi persyaratan seorang pendidik, khususnya penguasaan minimal ilmu keislaman dan keteladanan. Karena pada hakikatnya proses pendidikan keluarga dimulai semenjak pemilihan atau penentuan jodoh.


E. Manajemen Pendidikan Suami Istri Menurut A. Fatih Syuhud

Menurut A. Fatih Syuhud manajemen pendidikan suami istri atau keluarga terlebih dahulu dimulai dari tahap pemilihan calon pasangan, kenapa demikian, dikarenakan calon yang akan kita pilih adalah orang yang akan hidup bersama baik dalam suka maupun duka, kaya ataupun melarat.

Berikut Manajemen Pendidikan Suami Istri Menurut A. Fatih Syuhud:

1. Menentukan Calon Pasangan, 

Bagi laki-laki sudah tentu ingin istrinya yang baik, cantik, taat, pintar dan cerdas, tentunya Wanita yang sholihah. Sebagaimana dalam kitab mausu;ah al-Fiqhiyah dikatakan bahwa Wanita shalihah adalah Wanita yang membuat suaminya senang saat melihatnya, taat pada suaminya, tidak melakukan sesuatu hal yang tidak disukai suaminya dan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya.

Dalam hadits Riwayat bukhari muslim disampaikan bahwa Nabi menyatakan bahwa dalam menentukan piliha calon istri, seorang laki-laki hendaknya memilih Wanita yang agamis, bukan karena harta, kecantkan fisik atau darah keturunannya. Namun demikian menurut penulis andai bisa mendapatkan keseluruhannya akan menjadi lebih sempurna lagi. Perlu diperhatikan bahwa dalam memilih calon pasangan jangan terlalu mengedepankan hal yang begini dan begitu atau harus sesuai kriteria yang diinginkannya. 

2. Tujuan Rumah Tangga Adalah Kebahagiaan Bersama.

Tolak ukur rumah tangga yang berhasil menurut Ahmad Fatih Syuhud ialah sebagai berikut: a) suami berprilaku sesuai perannya, yakni menjadi pemimpin rumah tangga denga bijaksana, pencari nafah yang ulet, suami yang dihormat dan bapak yang jadi panutan: b) istri berprilaku sesuai tugasnya yaitu sebagai istri yang sholihah, ibu yang peduli pada keseharian Pendidikan anaknya, istri yang mendukung peran suami: c) anak bertndak sesuai harapan kedua orang tua.

3. Pembagian Tugas Dan Tanggung Jawab

Dalam sebuah hadits sahih Riwayat bukholi Rasulullah bersabda: Suami bertanggug jawab pada keluarganya. Sedangkan istr memimpin di ruman suaminya dan bertanggung jawab atas tugasnya.

4. Kebersamaan Dan Komunikasi Berkualitas

Komunikasi berkualitas adalah adanya kebersamaan dan hubungan teraktif yang baik secara intensif da teratur. Kebersamaan disebut berkualitas walaupun waktunya sedikit apabila digunakan secara utuh untuk berkomunikasi baik dalam bentuk bercanda, berbagi cerita dan berdialog serius.

5. Mengelola Konflik

Dalam sitasi di mana serng terjadi konflik kecil dan ketidak cocokan antara suami dan istri maka kemamouan mengelola konflik menjadi hal yang sangat penting.

6. Minta Maaf Dan Memaafkan

Pasangan suami istri yang harmonis sekalipun tidak luput dari kesalahan. Hal ini wajar dan manusiawi. Yang terpenting adalah bagaimana merawat keharmonisan, yang bersalah merasa bersalah dan segera meminta maaf pada pasangannya. Meminta maaf sendiri kendati terasa sangat sulit bagi mereka yang tidak terbiasa dan memiliki ego tinggi.

7. Kompromi

Salah satu kunci keharmonisan rumah tangga dan cara jitu menghindari konflik adalah kedua belah pihak harus melakukan kompromi, di antara makna kompromi adalah; a) penyelesaian perbedaan dengan cara arbitasi atau konsesi Bersama; b) dua pihak saling menyesuaikan diri dengan cara saling mengalah; c) mencapai kesepakatan dengan cara salng mengalah (mutual concession)

8. Taat Syariah

Rasulullah bersabda agar seorang lelaki memilih calon istri yang agamis agar alian beruntung. Jika istri agamis dapat membawa keberuntungan dalam rumah tangga, maka begitujuga dengan suami yang agamis.

9. Berilmu Agama

Taat pada syariah dalam arti menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya adalah wajib. Orang yang menjalankannya disebut sebagai orang yang shalih yang akan mendapatkan pahala surga kelak di akhirat. Kualitas kesaliha seseorang berbeda beda, ada yang tinggi dan ada yang rendah. Salah satu penyebabnya kualitas kesaliha itu adalah tingkat keilmuan.

10. Akhlak Mulia

Syarat ketiga rumah tangga disebut harmonis dan agamis adalah apabila dalam sebuah keluarga memiliki akhlak mulia atau budi pekerti yang luhur. Seorang muslim yang taat syariah dan berilmu agama belum menjamin memiliki akhlak yang baik.

11. Cinta Ibadah

Salah satu hal yang tak kalah penting adalah keluarga agamis juga harus cinta ibadah, artinya, rajin melakukan ibadah mahdah (murni) yang sunnah. Diharapkan dengan itu tidak hanya akan semakin mendekatkan dirinya dengan Allah, dan menjauhkan diri dari perilaku mungkar tapi juga untuk menguatkan hati dan mental.


 

F. Kesimpulan

Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari tiga hal, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Keberhasilan pendidikan dalam suatu Negara atau daerah tergantung kepada tiga faktor tersebut.

Konsep pendidikan Islam mestinya tidak menghasilkan SDM yang memiliki sifat zulm, jahl dan junun. Artinya produk pendidikan Islam tidak akan mengambil sesuatu yang bukan haknya, atau meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya (zalim), tidak menempuh cara yang salah dalam mencapai tujuan (jahil) dan tidak salah dalam menentukan tujuan hidup. Oleh sebab itu pendidikan Islam harus di-reorientasikan pada konsep dasarnya, yaitu merujuk kepada pandangan hidup Islam, yang dimulai dengan konsep manusia. Karena konsep manusia adalah sentral maka harus dikembalikan kepada konsep dasar manusia yang disebut fitrah.

Keberadaan sebuah program yang jelas dalam menjalani kehidupan suami istri maka akan memberikan pengaruh yang positif terhadap perilaku seseorang. Adanya program hidup yang sama, akan menghasilkan perilaku yang sama pula. Oleh karena itu, program tunggal dapat dijadikan parameter untuk mengetahui sejauh mana tindakan dan perilaku kita sesuai dengan program itu.

Suami isteri harus bersepakat untuk menentukan satu program yang dengan jelas menerangkan hak-hak dan kewajiban masing-masing dalam keluarga. Islam dengan keterpaduan ajaran-ajarannya menawarkan sebuah konsep dalam membangun keluarga muslim. Pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama.  Sebagai pendidikan yang pertama, pendidikan dalam keluarga menempati urutan paling awal dalam perjalanan proses pendidikan yang dialami seseorang.

Menurut A. Fatih Syuhud manajemen pendidikan suami istri atau keluarga adalah sebagai berikut, yakni dimuai dari menentukan calon pasangan, tujuan rumah tangga adalah kebahagiaan bersama, pembagian tugas dan tanggung jawab, kebersamaan dan komunikasi berkualitas, mengelola konflik, minta maaf dan memaafkan, kompromi, taat syariah, berilmu agama, akhlak mulia, cinta ibadah


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Fatih Syuhud, Jihad Keluarga: Membina rumah tangga sukses dunia akhirat, (Pustaka Al-Khoirot 2021) Hal. 301

Bahrun Ali Murtopo. Manajemen Pendidikan Islam Dalam Keluarga. Wahana Akademika Volume 3 Nomor 2, Oktober 2016

Dr Fakhir Aqil, ‘Ilm Al-Nafs Al-Tarbawi : 111

Hari Soetjiningsih, Christina, 2018. Psikologi Perkembangan, Perkembangan Anak. (Depok: Prenada Group). Hal. 218

Mujamil Qomar. 2015. Dimensi Managemen Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga) hal. 1

Sulitiyo Rini M.Pd. Manajemen Pendidikan Islam Konsep Srategi dan aplikasi

Surah al-A’raf, 172

Surah Ali Imran 191

Surah Al-Tahrim, ayat 6

surat taha, ayat 132












0 Komentar