Bulan Sya’ban adalah bulan yang terletak di antara bulan rojab dan ramadhan, pada bulan sya’ban biasanya umat Islam khususnya di Indonesia menyambutnya dengan mempererat silaturrahim melalui kirim-kiriman oleh-oleh yang berupa makanan kepada para kerabat, tetangga dll. Dengan cara tersebut kemudian terciptalah tradisi saling mengirim makanan di antara umat muslim, biasanya orang Indonesia menebut bulan sya’ban dengan istilah bulan ruwah.
A. Nishfu Sya’ban
Bulan sya’ban merupakan bulan yang kedelapan dalam penanggalan hijriyah, bulan sya’ban berada setelah bulan rojab dan sebelum bulan ramadhan. Di antara keistimewaan bulan sya’ban ialah terletak pada pertengahan bulan sya’ban yang biasanya kita sebut dengan nishfu sya'ban.
Pada pertengahan bulan sya’ban (Nish’su sya’ban) Umat Islam meyakini bahwa pada malam tersebut dua malaikat pencatat amal sehari-hari manusia dalam satu tahun menyerahkan catatan amalan manusia kepada Allah SWT, kemudian pada malam nishfu sya’ban itu juga buku catatan amal yang digunakan setiap tahun diganti dengan yang buku catatan yang baru. Dua malaikat pencatat amalan manusia tersebut ialah malaikat Raqib dan Atid,
Menurut Ulamak Nisfu Sya'ban juga disebut dengan malam ampunan, sebab pada malam nishfu sya’ban itu Allah SWT menurunkan pengampunannya kepada semua penduduk bumi, terutama kepada hamba-hambaNya yang taat dan salih.
Maka, kita sebagai umat Islam seharusnya tidak melupakan bulan nishfu sya’ban begitu saja, khususnya pada keutamaan dan amalan-amalan yang ada di dalamnya, karena bulan sya’ban adalah bulan yang mulia. Bulan sya'ban adalah bulan mempersiapkan diri sebaik mungkin dengan memperkuat keimanan.
Puasa sya’ban hukumnya sunnah, hal ini berdasarkan hadits dari Nabi Muhammad SAW, yang di antaranya adalah hadits dari sayyidah ‘Aisyah ra, yakni sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: لَا يُفْطِرُ؛ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: لَا يَصُومُ. وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ)
Artinya, “Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, ia berkata: ‘Rasulullah saw sering berpuasa sehingga kami katakan: ‘Beliau tidak berbuka’; beliau juga sering tidak berpuasa sehingga kami katakan: ‘Beliau tidak berpuasa’; aku tidak pernah melihat Rasulullah saw menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali Ramadlan; dan aku tidak pernah melihat beliau dalam sebulan (selain Ramadhan) berpuasa yang lebih banyak daripada puasa beliau di bulan Sya’ban’.” (Muttafaqun ‘Alaih. Adapun redaksi haditsnya adalah riwayat Imam Muslim).
Selain berdasarkan hadits di atas, dalam hadits yang lain juga disebutkan sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً. (رواه مسلم)
Artinya, “Diriwayat dari ‘Aisyah ra, ia berkata: ‘… Rasulullah saw sering berpuasa Sya’ban seluruhnya; beliau sering berpuasa Sya’ban kecuali sedikit saja’.” (HR Muslim).
Berdasarkan hadits di atas, Imam an-Nawawi menjelaskan dalam kitab al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, bahwa ulama menjelaskan bahwa redaksi kedua (كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً), yang artinya: “Nabi Muhammad SAW sering berpuasa Sya’ban kecuali sedikit saja”, adalah penjelas bagi redaksi yang pertama (كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ), yang artinya: “Rasulullah SAW sering berpuasa Sya’ban seluruhnya”.
Maksudnya adalah, redaksi hadits yang kedua itu menjelaskan bahwa Rasulullah Muhammad SAW sering berpuasa Sya’ban seluruhnya ialah Rasulullah Muhammad berpuasa pada sebagian besarnya saja.
B. Keutamaan Puasa Sya’ban
Puanya sya’ban mempunyai banyak keutamaan, diantara Keutamaannya berpuasa Sya’ban di antaranya adalah mendapatkan syafaat dari Rasulullah SAW pada hari kiamat. Dalam kitab Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadi-in Syekh Imam Nawawi al-Bantani berkata sebagai berikut:
وَالثَّانِي عَشَرَ صَوْمُ شَعْبَانَ، لِحُبِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِيَامَهُ. فَمَنْ صَامَهُ نَالَ شَفَاعَتَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Yang artinya, “Adapun puasa sunnah yang kedua belas ialah Puasa Sya’ban, Hal ini karena kecintaan Rasulullah SAW terhadapnya. Maka, barang siapa yang berpuasa sya’ban, maka ia akan mendapatkan syafaat Rasulullah SAW di hari kiamat.”
C. Tata Cara Puasa Sya’ban
Adapun tata cara berpuasa sunnah Sya’ban dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, terlebih dahulu berniat di hati. Adapun niat puasanya adalah sebagai berikut:
نَوَيْتُ صَوْمَ شَعْبَانَ لِلّٰهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma sya’bana lilahi ta’ala. Yang artinya, “Saya niat puasa Sya’ban karena Allah ta’ala. Kemudian selain niat di dalam hati, juga disunnahkan melafalkan niat dengan lisan. Hal ini sebagaimana puasa sunnah yang lainnya.
Niat puasa sunnah Sya’ban dapat dilaksanakan sejak malam hari sampai siang hari sebelum masuk waktu zawal atau sebelum matahari tergelincir ke barat, dengan syarat orang tersebut belum melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa sejak terbit fajar (sejak masuk waktu subuh).
Kedua, Adapun tata cara yang kedua ialah makan sahur, makan sahur lebih utama dilakukan menjelang masuk waktu subuh dan sebelum imsak.
Ketiga, tata cara yang ketiga ialah melaksanakan puasa dengan menahan diri dari segala hal yang bisa membatalkannya, seperti makan dan minum.
Adapun yang keempat ialah orang yang berpuasa hendaknya lebih menjaga diri dari perkara yang dapat membatalkan pahala puasa, seperti menggunjing orang lain, berkata kotor, menggibah dan juga segala hal perbuatan dosa.
Kenapa orang yang berpuasa harus menahan diri dari hal-hal seperti di atas, karena Rasulullah SAW bersabda:
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعِ وَالْعَطَشِ (رواه النسائي وابن ماجه من حديث أبي هريرة)
Yang artinya, “Banyak orang yang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan kehausan.” (HR an-Nasa’i dan Ibnu Majah dari riwayat hadits Abu Hurairah ra).
Referensi:
Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Kitab al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, juz VI, hal. 386.
Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi, Kitab Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadi-in, Bairut, Darul Fikr, hal. 197.
Syekh Zainuddin Bin Abdul Aziz Al-Malibari, Kitab Fathul Mu’in, juz II, hal. 223
0 Komentar