Tiga Sifat Mulia Yang Harus Dimiliki Guru


Guru sebagai pendidik harus memiliki sifat-sifat terpuji agar muridnya juga dapat mengambil pelajaran darinya dengan baik. Di lain sisi dikarenakan guru itu disebutkan ditiru dan digugu sehingga apapun yang nampak dalam sifat dan perilaku guru sangat memungkinkan akan murid ikuti sebagai contoh. dengan demikian guru harus mempunyai sifat terpuji dan berprilaku yang baik.

وقيل: إذا جمع المعلم ثلاثا، تمت النعمة بها على المتعلم : الصبر والتواضع وحسن الخلق

Dikatakan apabila terkumpul pada diri seorang guru tiga sifat mulia, maka menjadi sempurna kenikmatan yang dirasakan oleh seorang murid:

1. Sifat sabar

Dalam mendidik dan menyikapi kekurangan dari murid, demi keberhasilan mereka di masa depan. Maka seyogyanya seorang guru mempunyai sifat sabar, bersikap sabar dlam mendidikan dan menghadapi bermacam-macam tingkah muridnya yang memang berlatar bekalang yang berbeda. itulah tantanga bagi seorang guru. sabar bukan berarti tidak tegas. Bersikap sabar memang tidak mudah, butuh latihan setiap hari. Sabar bukan berarti ada batasnya, menurut penulis sabar tiada batas. Sabar dalam menghadapi dang lingkup apa saja, tingga bagaimana cara kita mengelola cara versabar sendiri.

2. Sifat tawadhu' 

Sifat tawadhu' adalah sikap rendah hati dan tidak menganggap segala kelebihan pada dirinya sebagai hasil usaha pribadi namun murni karunia dari Allah SWT untuk disebarkan manfaatnya kepada yang membutuhkan. Dengan bersikap tawadhu' maka akan membuat pribadinya lebih dihormati oleh orang lain, dan Allah juga menyukai orang-orang yang tawadhu'. Karena dengan sifat ini juga akan memberikan tameng untuk menjauhkan diri dari sifat sombong, kita tahu sifat sombong adalah bagian dari sifat manusia yang Allah tidak sukai. Bahkan dalam kitab hikam dijelaskan sebagai berikut:

مَنْ أثْبَتَ لِنَفْسِهِ تَواضُعاً فَهُوَ المُتَكَبِّرُ حَقّاً. إذْ لَيْسَ التَّواضُعُ إلّا عَنْ رِفْعَهٍ. فَمَتى أثْبَتَّ لِنَفِسَكَ تَواضُعاً فَأنْتَ المُتَكَبِّرُ حَقّاً

Artinya: Barang siapa yang merasa dirinya tawadhu’ (randah hati), berarti dia termasuk prang yang sombong (takabur). Sebab, menganggap diri sebagai orang yang tawadhu’ tidak akan muncul kecuali dari sikap tinggi hati (tinggi hati). Maka, saat engkau menyandangkan keagungan itu pada dirimu, berarti engkau benar-benar orang yang sombong. 

Kemudian dalam kitab hikam juga disinggung sebagai berikut:

لَيْسَ المُتَواضِعُ الَّذي إذا تَواضَعَ رَأى أنَّهُ فَوْقَ ما صَنَعَ. وَلكِنَّ المُتَواضِعَ الَّذي إذا تَواضَعَ رَأى أنَّهُ دُونَ ما صَنَعَ

Orang yang tawadhu’ (Mutawadhi’) itu bukanlah seseorang yang tawadhu’ dan merasa dirinya lebih dari apa yang dia perbuat. Akan tetapi, orang tawadhu’ itu ialah orang yang meski dia tawadhu’ tapi merasa dirinya kurang dengan apa yang telah ia perbuatnya.

Jadi orang yang tawadhu' ciri-cirinya cukup mudah. Selain dia memang dikenal dengan sifat kerendahan hatinya. dia sendiri tidak juga dengan pujian yang akan membuatnya merasa lebih. diapun juga merasa bahwa yanh orang lain puji-pujikan padanya atas sifat, sikap dan prilakunya tersebut justru membuatnya merasa lebih rendah dari apa yang mereka sanjungkan. Maka Guru harus memiliki sifat tawadhu' tersebut.

التَّواضُعُ الحَقيقيُّ هُوَ ما كانَ ناشِئاً عَنْ شُهودِ عَظَمَتِهِ وَتَجَلّي صِفَتِهِ

Jadi sikap tawadhu’ (Rendah hati) yang sejati itu timbul dari menyadari akan keagungan Allah dan sifat-sifat-Nya yang begitu nyata, bukan justru sebaliknya. 

لا يُخْرِجُكَ عَنِ الوَصْفِ إلا شُهودُ الوَصْفِ
Tidak ada yang bisa melepaskanmu dari sifat burukmu, kecuali jika kamu menyadari terhadap sifat agung yang ada di sisi Allah.

Memang manusia itu tidak bisa terlepas dari sifat-sifat buruk, karena memang sifat-sifat itu sudah manusiawi. Godaan syaithan tetap akan selalu menghampiri setiap manusia, hal ini sebagaimana keterangan berikut:

جَعلَهُ لَكَ عَدّواً لِيَحُوشَكَ بِهِ إلَيْهِ، وَحَرَّكَ عَلَيْكَ النَّفْسَ لِيَدومَ إقْبالُكَ عَلَيْهِ

Allah sengaja menjadikan syaitan sebagai musuhmu, karena Allah ingin menuntunmu menuju kepada-Nya. Dan Allah menggerakkan hawa nafsumu, agar engkau senantiasa menghadap-Nya

Jadi sekalipun mungkin kita telah dianggap tawadhu' oleh orang di sekeliling kita, maka sebisa mungkin kita harus merasa lebih hina dari anggapan tersebut. Karena dengan kita juga mengakui hal tersebut, maka hal itu juga yang akan mencelakai kita sehingga membuat kita terjerumus pada sifat sombong juga.

3. Akhlak yang terpuji

Sebagai orang Islam, apalagi menjadi guru, sudah seharusnya menjaga sifat, sikap dan etika. Kagala hal yang timbul dari guru akan menjadi contoh dan konsumsi murid serta masyarakat luas. Akhlak terpuji bisa dicontohkan dengan bersikap baik kepada orang-orang yang mencintainya ataupun  kepada orang yang membencinya sekalipun, sebagai bentuk teladan sikap bagi anak didiknya untuk dapat diikuti. Jika kita lebih mendalami lagi, maka akhlak terbagi menjadi tiga bagian, yaitu akhlak syariah, universal dan etika lokal. 

Pertama, akhak syariah:  adalah bagaimana cara kita bersikap dan taat pada perintah dan larangan Allah. Dalam ranah taat menjalani kewajiban setidaknya menjalankan kewajiban sehari-hari dalam bentuk penghambaan, yaitu dengan sholat tepat waktu, puasa, zakat dan jika mampu berpuasa. Belajar tentang ilmu yang berhubungan dengan kewajiban kita sebagai orang muslim sehari-hari. Tentang wudhu', sholat, puasa, zakat dan ibadah lainnya serta ilmu yang lain pula. Karena memang manusia diwajibkan untuk belajar baik itu laki-laki ataupun perempuan, semuanya mendapatkan porsi yang sama.

Jadi Akhlak syariah itu mudahnya adalah dengan beprilaku yang harus sesuai dengan syariah Islam. Sebagai murid harus memiliki komitmen untuk selalu taat menjalankan perintah agama yang wajib dan menjauhi segala bentuk larangan yang haram. Setiadaknya seorang murid harus menjalankan secara ketat rukun Islam yang 5 (lima) yaitu syahadat, shalat 5 waktu setiap hari, puasa Ramadan sebulan penuh setiap tahun, membayar zakat mal dan fitrah, ibadah haji sekali seumur hidup apabila mampu.


Baca Juga : Bersosial dengan cinta


Kedua, akhlak universal: adalah sikap kita ditengah-tengah masyarakat luas, bergaul dengan orang banyak. Sehingga kalaupun kita santri tidak selalunya berpakaian dengan memakai sarung, baju koko dan berkopyah. Kita harus bisa menyesuaikan diri ditempat kita berada dengan melihat bagaimana nilai-nilai yang di situ dianggap baik. jika dengan berkopyah dan bersarung selalu kemudian dianggap kurang baik, sekalipun kita santri tetap harus menyesuaikan diri dengan hal itu asalkan tetap tidak membuka aurat dan ketentuan lainnya dalam Islam.

Akhlak universal atau bisa disebut dengan nilai-nilai kebaikan universal adalah perilaku atau sikap dan nilai-nilai kehidupan yang baik atau buruknya diakui oleh seluruh umat manusia tanpa melihat latar belakang agama, budaya, suku, atau bangsa.

Akhlak universal etika adalah akhlak Islam yang dalam Al-Quran disebutkan dan menjadi perilaku Rasulullah SWA. Akan tetapi sebagian dari nilai atau akhlak universal ini secara syariah mempunyai hukum yang berbeda-beda. Adakalanya menjadi wajib, sunnah, atau bahkan menjadi haram dan makruh saja. dengan demikian tidak semua etika dan nilai universal menjadi komitmen bersama seluruh umat Islam.

Dengan perbedaan hukum di atas, berikut beberapa etika atau akhlak universal yang baik: Jujur, pekerja keras, dermawan, sederhana, suka menolong, disiplin, toleran dan juga peduli sesama. 

Ketiga, akhlak lokal: adalah sikap kita dilingkungan kita sendiri. Bagaimana cara kita menjaga dan menghormati tradisi yang ada, budaya lokal yang sudah tumbuh dan juga diakui. Karena memang tradisi dan budaya lokal diakui, dibiarkan tumbuh, dan dihormati oleh umat Islam selagi hal itu tidak bertentangan dengan prinsip pokok dalam syariah Islam. Jika bertentangan tapi tradisi itu cukup kuat mengakar dalam masyarakat, maka akan diusahakan untuk dimodifikasi sehingga lebih menjadi islami seperti yang dilakukan oleh Wali Songo terhdapat tradisi tahlil, wayang dan lainnya.

Bagian dari cara menghormati kearifan lokal ialah dengan menghormati perbedaan cara berpakaian yang harus ditoleransi selagi tidak bertentangan dengan syariah. Sebagai umal Islam yang baik seharusnya memang tidak terlalu mudah mengkritik terhadap perbedaan yang masih ada pada koridor dan jalan yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Bagaimana mungkin mudah mengkritik dan menyalahkan, sedangkan dalam Islam sendiri ada banyak perbedaan, dan perbedaan itu menjadi rahmat bukan justru menjadikan pertengkaran dan saling menyalahkan sehingga menjadikan Islam agama yang garang. dan sikap yang demikian justru akan sulit membuat orang non muslim simpatik pada agama kita, yakni Islam. Dengan inilah kita diharuskan bersikap baik dan menghormati perbedaan.

Umat Islam sudah seharusnya bersikap tawassut, adil, tawazun, dan tasamuh. bersikap moderat, dan mudah memaafkan. Sebagai mahkluk sosial harus bisa menjaga kerukunan, ketenangan, ketentraman dan bersama serta saling menolong. sehingga Islam akan lebih dikelan sebagai agama yang membawa kedamaian, tenang, tentram dan menghormati sesama. Kita boleh saja berbeda pendapat dan pendapatan. Tapi kita tidak boleh bertengkar dan menyebabkan pertengkaran.

Referensi:

Kitab Ihya' Ulumiddin, Karya Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali. Jilid I. Cetakan Al-Maktabah At-Taufiqiyah, Halaman 120. 

Kitab Al-Hikam, Karya Ibn Atha'illah al-Sakandari, Hikmah ke 237-249

-------------------------------------------

By. Muhammad Zaironi. Santri Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang

0 Komentar