Harga diri (Dignity atau self respect) itu melekat sepenuhnya pada setiap manusia seumur hidupnya. Mungkin saja kekuasaan atau kesenjangan ekonomi dapat mendegradasi dignity seseorang, tapi sebenarnya sedikitpun self respect itu tidak akan bisa hilang dari pribadinya. Karena ia melekat sepenuhnya hingga penghujung nafas setiap manusia.
Di dalam Islam, terdapat tiga kata yang secara makna saling melengkapi dalam mewujudkan kemuliaan, kehormatan dan menjaga diri. Hal ini disebut dengan izzah (kemuliaan diri), muru’ah (menjaga kehormatan diri), dan iffah (menahan diri).
Tiga kata di atas saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Kata Izzah juga bermakna kehormatan, keagungan, dan kekuatan. Izzah harus dimiliki dan harus ada dalam hati setiap manusia, Izzah bisa didapatkan dengan cara mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan muru’ah memiliki makna menjaga tingkah laku hingga tetap berada pada keadaan yang paling utama. Menurut Syekh Imam Mawardi dalam Adab ad-dunya waddin, muru’ah memiliki pengertian sebagai berikut:
المروءَة مراعاة الأحوال إلى أن تكون على أفضلها، حتَّى لا يظهر منها قبيحٌ عن قصد، ولا يتوجَّه إليها ذمٌّ باستحقاق
Artinya, “Muru’ah adalah menjaga tingkah laku hingga tetap berada pada keadaan yang paling utama, supaya tidak melahirkan keburukan secara sengaja dan tidak berhak mendapat cacian.”
Jadi, Muru'ah itu tatkala manusia menjaga sikap dan tingkah lakunya agar senantiasa berada dalam keadaan yang baik dan tidak melanggar aturan-aturan dalam islam. Sehingga dengan perbuatan di atas orang itu bisa menjga diri dari perbuatan yang kapan saja bisa membuahkan keburukan.
Sedangkan menurut Mausu’ah Fiqh al-Qulub, muru’ah adalah: “Mengerjakan segenap akhlak baik dan menjauhi segenap akhlak buruk; menerapkan semua hal yang akan menghiasi dan memperindah kepribadian, serta meninggalkan semua yang akan mengotori dan menodainya.”
Adapun makna 'iffah ialah sebuah kemampuan atau sikap manusia dalam menjaga dan menahan diri dari hawa nafsu. Menurut Ibnu Maskawaih dalam kitabnya Tahdzibul Akhlak, 'Iffah adalah suatu kemampuan yang dimiliki manusia untuk menahan diri dari dorongan hawa nafsunya. 'Iffah merupakan sebuah keutamaan yang dimiliki manusia ketika dirinya mampu mengendalikan syahwat dengan akal sehatnya. Dari sifat 'iffah inilah kemudian lahir akhlak yang mulia seperti sabar, qana'ah, jujur, adil, santun, dermawan, dan perilaku terpuji yang lain.
Sifat 'iffah inilah yang kemudian membuat manusia menjadi mulia (izzah). Sifat Iffah seperti batas pembeda antara prilaku manusia dengan hewan, bagaimana tidak, andaikata manusia sudah tidak lagi memiliki sifat 'iffah, maka dia tidak ada bedanya dengan sifat-sifat hewan. Karena itulah, tatkala seseorang mampu memfungsikan sifat 'iffah-nya, dalam kehidupannya, maka berarti akal sehatnya masih bekerja dengan baik.
Dengan tiga sifat di atas manusia bisa menjalani kehidupannya dengan penuh arti. Tidak asal bersikap, bertindak dan berbicara ataupun berkomentar. Dengan sifat di atas pula manusia akan bisa menjaga eksistensi sebagai manusia yang sebenarnya melalui ke iffahannya, yakni menjaga dirinya dari dorongan hawa nafsunya. Dan dengan sifat Izzahnya manusia akan terhormat.
Dengan demikian, maka orang yang memiliki harga diri adalah orang yang mampu menampilkan kemuliaan dirinya, yakni 'izzah, menjaga kehormatannya, yakni disebut dengan muru’ah, dan menahan diri dari dorongan hawa nafsu yang disebut dengan 'iffah. Iffah juga bermakna menahan diri dari setiap perbuatan maksiat dan segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT.
Dalam prakteknya, atau pengamalan 'iffah, maka 'iffah terbagi menjadi dua, yakni menjaga dan menahan diri dari syahwat syahwat perut, dan menahan diri dari syahwat kemaluan. Yang dimaksud dengan menahan diri dari syahwat perut ialah menahan diri agar tidak meminta-meminta kepada selain Allah SWT. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah QS Al-Baqarah: 273 berikut:
لِلۡفُقَرَآءِ ٱلَّذِينَ أُحۡصِرُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ لَا يَسۡتَطِيعُونَ ضَرۡبٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ يَحۡسَبُهُمُ ٱلۡجَاهِلُ أَغۡنِيَآءَ مِنَ ٱلتَّعَفُّفِ تَعۡرِفُهُم بِسِيمَٰهُمۡ لَا يَسَۡٔلُونَ ٱلنَّاسَ إِلۡحَافٗاۗ وَمَا تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ
Artinya, “(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui" (QS Al-Baqarah: 273)
Sedangkan dalil yang menerangkan tentang menjaga diri dari syahwat kemaluan di antaranya ialah firman Allah pada surah an-Nur: 33 berikut:
وَلۡيَسۡتَعۡفِفِ ٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغۡنِيَهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ
Artinya, “Dan orang-orang yang belum mampu untuk menikah hendaklah menjaga kesucian dirinya sampai Allah menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya” (QS an-Nur: 33).
Hendaklah kita menjadi manusia yang hanya memusatkan permintaan kita kepada Allah melalu doa dan membuktikan keseriusan kita dalam mintanya dengan bekerja keras dan sekuat tenaga, sabar dalam menjalani kehidupan tamun tetap berusaha untuk bangkit dan menjadi lebih baik lagi baik dalahm hal ibadah kita ataupun baik dalam ekonimi. Sehingga keduanya ketka berjalan seiringan, maka hidup kita akan menjadi lebih baik lagi dalam menjalaninya sehari-hari. Rasulullah bersabda sebagai berikut:
مَا يَكُوْنُ عِنْدِي مِنْ خَيْرٍ لاَ أَدَّخِرُهُ عَنْكُمْ، وَإِنَّهُ مَنْ يَسْتَعِفَّ يُعِفَّهُ اللهُ وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبّرِهُ اللهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ، وَلَنْ تُعْطَوْا عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ
Artinya, “Kebaikan (harta) yang ada padaku tidak ada yang aku simpan dari kalian. Sesungguhnya siapa yang menahan diri dari meminta-minta, Allah akan memelihara dan menjaganya. Siapa yang menyabarkan dirinya dari meminta-minta, Allah akan menjadikannya sabar. Siapa yang merasa cukup dengan Allah dari meminta kepada selain-Nya, Allah akan memberikan kecukupan kepadanya. Tidaklah kalian diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. al-Bukhari).
Sifat Iffah sendiri menjadi sifat yang sangat potensial pada diri setiap manusia, karena itulah menusia harus mendapatkan pendidikan yang baik sehingga ia dapat membentengi dirinya dari perbuatan yang tidak baik dan terus bisa menjaga eksistensinya sebagai manusia dengan menjaga kemuliaan dan berbuat mulia. 'Iffah tidak bisa diraih hanya dengan mempelajari teori.
Sifat 'Iffah bisa dimiliki oleh setia manusia dengan syarat orang tersebut mau dan berusaha untuk terus melatih diri dan juga melalui pendidikan jiwa, yakni dengan memperbanyak mengerjakan amalan yang baik.
Sifat Iffah adalah bagian dari tingkat tertinggi dari akhlak manusia, dan juga menjadi perantara manusia tersebut dicintai oleh Allah SWT. Kenapa sdemikian?, dikarenakan denga sifat Iffah inilah kemudian melahirkan banyak sifat mulia dan terpuji sebagaimaa yang disampaikan di atas. Sehingga jika sifat 'iffah dari manusia sudah hilang, maka akan memberikan banyak pengaruh yang negatif dalam dirinya. Diantara dampat terburuknya ialah dapat membawanya pada perbuatan maksiat yang kemudian ia tidak bisa lagi membedakan mana yang benar dan salah, baik dan buruk, dan mana yang halal dan haram dikarenakan akal sehatnya sudah tertutup oleh syahwat semata.
Di antara doa yang diajarkan oleh Rasulullah untuk memiliki sifat 'iffah terdapat dalam kitab al-adzkar an-Nawawi, berikut bunyi doanya:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ اْلهُدَى وَالتُّقَى وَاْلعَفَافَ وَاْلغِنَى
Artinya, "Ya Allah aku mohon kepadamu petunjuk, takwa, iffah (pengendalian diri), dan kecukupan" (HR Muslim).
Dalam kitab al-adzkar an-Nawawi tersebut dijelaskan bahwa doa di atas hendaknya dibaca pada pagi hari. Di antara tujuannya ialah agar sejak pagi kita sudah bisa terjaga dari perbuatan-perbuatan yang menjerumuskan kita kepada perbuatan maksiat yang menghasilkan dosa.
Sudah menjadi maklum dan masyhur bahwa semua manusia akan berusaha untuk mempertahankan harga dirinya, setiap manusa akan merasa menjadi wajib baginya untuk terus menjaga dan mempertahankan harga diri dengan harapan esistensi dalam hidupnya bisa berjalan dengan baik tanpa adanya tekanan dan kecanggungan dalam hidup bersosial.
Di antara upaya untuk menjaga harga dirinya biasanya banyak orang bersikap dengan berupaya sekuat tenaga dan bekerja sekeras mungkin untuk mendapatkan banyak harta, dan mendapatkan pangkat jabatan. Semua ini dimaksudkan untuk menjaga harga dirinya dari kemiskinan dan meminta-minta. Hal ini menjadi baik tatkala niatnya semata-mata tetal Lillahi Ta’ala, karena memang dikehidupan sekarang yang serba instan, serba ber-uang, dan maka di atara cara untuk menghindarkan diri dari meminta-minta ialah dengan bekerja dengan semangat, dan mencari uang sebanyak mungkin. Allah SWT juga memerintahkan hambanya selain berdoa juga agar bekerja dengan baik, Allah tidak menyukai sikap hambanya yang pemalas dan putus asa.
Seperti yang kita tau seringkali kesenjangan sosial atau ekonomi menjadi pemicu manusia merasa rendah harga dirinya bagi yang miskin ekonomi dan mudah merendahkan karena merasa banyak harta. Hal yang demikian tidak dibenarkan dalam Islam, karena selain hidup ini memang tentag penghambaan kepada Allah dengan sepenuhnya dan setulusnya. Juga harta hanyalah sebatas harta jika tidak digunakan dengan baik dan dibuat untuk membantu sesame yang kemudian berbuah kebaikan bagi dirinya sendiri.
Harta tetap harus dicari, bahkan islam tida pernah melarang hambanya untuk kaya raya, hal itu juga untuk menghindarkan dirinya dari meminta-minta dan agar hidupnya lebih khusuk dalam beribadah kepad Allah SWT. Bahkan kaum shufipun banyak yang kaya raya, karena yang dimaksud dengan shufi bukanlah orang yang tidak mau dengan harta sama sekali. Tetap mencari tapi merasa tidak memiliki tatkala sudah dimiliki sehingga adanya dunia tidak membuatnya menjauh dari Allah, dan tidak mengurangi ibadahnya. Justru sebaliknya.
Maka, dengan bermodalkan kekayaan harta yang dimilikinya, seseorang akan merasa bahwa harga dirinya semakin baik dan terjaga dari hinaan dengan dalih ekonomi dan terjaga martabatnya sehingga dirinya bisa dengan mudah bergaul dengan banyak manusia. Dalam hal ini hendaknya tetap harus diiringi dengan sikap tidak sombong dan tetap sadar bahwa harta yang dimilikinya semata-mata hanyalah titipan dari Allah SWT yang kapan saja bisa Allah ambil Kembali. Dengan demikian setiap nikmat sudah seharusnya selalu disyukuri, syukur dalam bentuk ucap dan perbuatan denga memperbanyak berbuat baik melalui harta yang dimilikinya, yakni dengan banyak membantu orang lain.
Dalam Islam juga disampaikan agar umat manusia hendaknya menjaga harga diri dan rasa malu. Islam mempunyai lima perkara yang harus tetap dipertahankan oleh setiap manusia atau pemeluknya, yaitu: agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal, Lima hal ini disebut dengan Maqhoshid Asy-Syari’ah yang harus selalu dijaga.
Islam sebagaimana yang disampaikan di atas, bahwa islam mengajarkan kepada umatnya agar di dalam menjalani kehidupannya hendaknya berlomba-lomba untuk mendapatkan derajat atau martabat yang tinggi, khususnya di hadapan Allah. Banyak konsep tentang derajat yang tinggi dalam Islam, misalnya dengan konsep menjadi orang yang beriman, menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah (muttaqien), dan menjadi orang yang sabar serta dan menjadi orang yang berilmu. Jika diperhatikan lebih mendalam lagi, kunci utamanya ialah dengan berilmu sebaik dan setinggi mungkin sehingga bisa menjalani kehidupannnya dengan baik sesuai dengan ketentuan dan asas-asal dalam kehidupan. Baik kehidupan dalam konteks hablun minAllah ataupun hablum minannas.
Hal ini sebagaimana firman Allah dalam A-Qur,an Surat Al Mujadalah ayat 11 berikut:
يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
Artinya, "Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Mujadalah: 11)
Jagalah harga diri kita dengan tetap mempertahanan keimanan kita dan menjaga perbuatan kita dari hal-hal yang berakibat pada perbuatan buruk dan maksiat, baik maksiat kepada sesame manusia ataupun kepada Allah dengan meninggalkan kewajiban dan melanggar larangannya. Jadilah manusia yang dapat mempertahankan lima perkara di atas, yakni agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal. Tetaplah menjaga eksistensi hidup kita dengan terus menjalankan kehidupan dengan memperhatikan tiga sifat ataupun sikap di atas, yakni izzah (kemuliaan diri), muru’ah (menjaga kehormatan diri), dan iffah (menahan diri).
0 Komentar